Antara Harapan dan Tantangan

  • Whatsapp
Muhd Nur Sangadji. Foto: Dok

Oleh  Nur SANGADJI

SEBUAH dialog kecil terjadi di aplikasi WhatsApp  Tuaka untuk Negeri. Grup yang diinisiasi oleh kawan kawan Mahaswara Sulteng itu,  isinya menarik sekali. Pencetus pikiran itu adalah Dr. Yunan Lampasio. Postingannya menginspirasi saya untuk berfikir dan menulis ini. Beliau benar saat menyebut, “harapan dahulu, baru tantangan. Alasannya, harus bicara optimisme dahulu, baru kita bicara apa tantangan.

Bacaan Lainnya

Saya pikir, ini adalah paradigma kontemporer. Walaupun, sebenarnya sudah lama juga dipraktekkan oleh pendahulu. Sebut saja, ini adalah pendekatan yang pertama.

Nenek moyang kita dari tanah Bugis pernah punya falsafah. “Lettu ko jolo, Nappa jokka. Falsafah itu bermakna, “Tiba dahulu sebelum berangkat”. Nenek moyang kita dari tanah Nusantara lainnya juga punya keagungan nasehat yang relatif sama. Kita para cucu dan cicit inilah yang harus merawatnya.

Pendekatan ini, bisa dianalogikan dengan  istilah “vision”.  Setelah itu baru kita kaji tantangan (challenge) dan hambatan (obstacle). Ini proses untuk mencari masa depan (future search). Lahirlah sejumlah tindakan untuk capai tujuan masa depan itu. Di sini ada tekad. Maka dicurahkanlah semua kapasitas (capacity), kemampuan (ability) dan kemauan (strong willingness) untuknya.

***

Pendekatan kedua, bernama “problem aproach”. Ada juga yang menyebutnya, “Solution base on problem” atau “problem solving”.

Pandangan ini menempatkan masalah sebagai titik tumpuan awal. Berdasarkan masalah tersebut, baharu dicari jalan keluarnya dengan mengukur kemampuan lebih dahulu. Orang sering mengidentikannya dengan pujian tersamar, “realistis”.

Kedua pendekatan ini punya kelebihan dan kelemahannya sendiri sendiri. Aktor individu dan atau kelompok bersangkutanlah yg menentukan, yang mana yang cocok. Kelompok pada pendekatan pertama sering dituduh “bermimpi”. Sedangkan, kelompok kedua yang dipuji realistis itu, sering  dituduh kurang berinisiatif, bahkan dianggap penakut.

Sebenarnya, adalagi yang ketiga. Kelompok ini lebih dahulu menatap ke belakang (back casting). Kemudian, merenung apa yang terlihat hari ini (present situation). Atau rona awal dalam istilah analisis lingkungan hidup. Selanjutnya, menentukan masa depan yang diinginkan (desirable future).

***

Kalau kita berfikir realistis, maka tidak mungkin Indonesia bisa merdeka. Karena, tidak masuk akal. Bambu runcing mustahil mengalahkan bedilnya tentara Belanda dan Jepang. Padahal, mereka para penjajah ini lupa bahwa, senjata sesungguhnya milik bangsa Indonesia saat itu, adalah diri mereka sendiri. Diri bangsa Indonesia itu berpekik “Merdeka atau Mati”. Itulah, cita cita dan tekad.

Atas semua kekayaan pendekatan inilah. Maka, kita perlu terus berdiskusi. Sebab, dia adalah hiburan bagi mereka yang terus berfikir. Apalagi, ini menjelang akhir tahun dalam perhitungan Masehi. Saat yang tepat untuk mengevaluasi langkah masa lalu, dan merancang langkah untuk menggapai masa depan. Semuanya, dimulai dengan berfikir.

Dan, berfikir itu, dasarnya adalah nurani. Setelah itu, kata kata. Kemudian, tindakan. Jadilah kebiasaan. Lantas, membentuk karakter. Dan akhirnya, Allah ikut serta. Namanya, takdir.  Mengapa begitu ? Karena Allahlah yang menyebut, “Ana ‘inda dzonni  abdi bi” (Aku ada dalam prasengka hamba ku). Maka, terwujudlah rencana Itu. ***

Pos terkait