Ini pernah terjadi pada cucu Rasulullah, Imam Ali Zainal Abidin. Ketika ia hendak berwudlu, seorang budak sigap mengambil kendi dan membantu menuangkan air. Namun, kendi itu tiba-tiba jatuh dan melukai tuannya. Imam Ali Zainal Abidin pun menolehkan wajahnya.
Budak itu ketakutan. Saking takutnya seketika ia melafadkan potongan ayat al Qur’an; wa al-kaḍimina al-ghaida (orang-orang yang mampu menahan amarahnya). Lalu Imam Zainal Abidin berkata, “Saya telah menahan amarahku”. Budak itu melanjutkan, ‘Wa al-‘afina an al-nas’. Imam Ali Zainal Abidin membalasnya lagi, “Saya sungguh telah memaafkan engkau”. Dan budak itu menutupnya dengan ucapan, ‘Wallahu yuhibbu al-muhsinin’. Maka Imam Ali Zainal Abidin pun berkata, “Sungguh demi Allah, engkau telah merdeka karena Allah. Maka pergilah”.
Subhanallah. Sang budak dibebaskan bukan karena prestasinya. Tapi justru disaat dia melakukan kesalahan besar kepada tuannya.
Dalam pergaulan, kita sering telah mati-matian berkomitmen untuk tidak marah. Tapi ada saja orang yang suka memancing-mancing emosi. Sayyidina Mu’awiyah yang digelar ahlamul ‘arab (orang Arab paling bijak), punya penangkal jitu.
Suatu ketika ada orang yang mengklaim diri mampu membuat Mu’awiyah marah. Ketika berjumpa, tanpa sopan ia berkata, “Wahai Mu’awiyah, nikahkan ibumu dengan aku. Sebab dubur atau pantat ibumu besar.”
Pancingan orang itu gagal. Mua’awiyah justru dengan cerdik balik berkata; “Oh iya. Justru pantat besar ibuku itulah yang membuat ayahku sangat mencintainya”. Mu’awiyah tak marah sedikitpun. Ia bahkan menghadiahkan uang seribu dinar kepada orang itu untuk menikahi perempuan lain.
Marah adalah sesuatu yang manusiawi. Tidak seorang pun di muka bumi ini yang semasa hidupnya tidak pernah marah. Islam juga tidak dengan tegas melarang seseorang untuk marah. Benar Nabi pernah menasihati seorang sahabat, “Janganlah marah, dan bagimu surga”.