Jangan Sepelekan Doa Anak Kecil

  • Whatsapp
H. Sofyan Arsyad. Foto: istimewa

Tanpa sadar, tidak jarang orang tua suka melepas tanggung jawab. Ketika anak malas shalat kita berdalih, “Biarkan saja, toh jika sudah baligh dan menikah, dia sendiri yang akan memikul dosanya. Pertanyaannya, apakah semasa kanak-kanak kita merasa pernah mendidik mereka untuk disiplin shalat?

Diriwayatkan, ada seorang anak meronta-ronta saat digiring ke neraka. “Ya Allah, kenapa cuma aku yang digiring ke neraka, sementara orang tuaku bersenang-senang di surga. Saya tidak sudi ke neraka kalau tidak bersama mereka,” protesnya. Ia telah menyiapkan pledoi/pembelaan. “Benar, semasa hidup saya banyak berbuat dosa, dan patut menerima hukuman. Tetapi Tuhan mesti adil. Orang tua saya juga harus dihukum. Karena mereka berjasa membuat hidup saya berlumuran dosa. Sejak kecil, saya tidak pernah dididik mengenal agama. Saya tidak pernah di sekolahkan ke madrasah atau taman pengajian. Karena itu, hari ini saya berhak menuntut orang tuaku ikut dihukum akibat kelalaian mereka.”

Bacaan Lainnya

Jujur, tanpa sadar kita terkadang berlaku tidak adil dalam proses pendidikan anak. Terjadi dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum. Ketika rapor pelajaran bahasa Indonesia/matematika anak merah, kita kontan marah. Celakanya, tak nampak sedikitpun kecemasan jika hingga dewasa anak kita belum bisa mengaji atau malas shalat.

Setali tiga uang. Begitu hasil Ujian Nasional (UN) jeblok dan diumumkan, masyarakat gempar. Pemerintah ikut-ikutan panik. Tetapi ketika hasil penelitian menyebutkan sekian persen pelajar dan mahasiswa tidak bisa baca Al Qur’an, semua pihak tenang-tenang saja.

Kita juga lebih rela membayar guru kursus aritmatika atau bahasa Inggris ratusan ribu rupiah, daripada menginfakkan 15.000 rupiah sebulan untuk guru mengaji anak-anak kita. Padahal yang dipelajari sama-sama ilmu bermanfaat. Baca tulis Al Qur’an bahkan komplit, berguna di dunia dan akhirat.

Lalu, mengapa harus dibedakan? Apakah kita lupa jika guru aritmatika dan guru mengaji, sama-sama manusia. Mereka punya mulut dan perut yang tiga kali sehari minta diisi. Mereka juga punya isteri dan anak-anak yang mesti diberi nafkah. Ironisnya diskriminasi itu terkadang berlanjut saat hendak memilih anak mantu. Calon mantu berlatar belakang pendidikan umum terkadang diperlakukan lebih istimewa. Berbeda dengan calon mantu seorang ustadz.
Di sini, terlihat kecerdasan intelektual lebih diutamakan dibanding kecerdasan spiritual. Padahal sebuah penelitian berkesimpulan, kecerdasan intelektual hanya 20 persen berperan dalam kesuksesan seseorang. Paling dominan adalah kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual. Tapi faktanya, terkadang orang tua lebih rela merogoh puluhan juta rupiah untuk sebuah kursi di sekolah favorit. Sekalipun masuk ”lewat jendela”.

Pos terkait