Misalnya, dalam kewenangan ruang laut, Pemerintah Provinsi diberi kewenangan mengelolanya hingga 12 mil. Padahal, nelayan saat ini pada umumnya melaut di atas 12 mil, terutama kapal penangkap tuna.
“Kewenangan dalam hal pengelolaan ruang laut itu provinsi hanya menangani jarak tangkap nelayan dari titik 0-12 mil laut. Di atas 12 mi laut itu sudah kewenangan pusat,” kata Arif.
Begitupula dalam segi bobot kapal nelayan, pemerintah provinsi diberikan kewenangan mengelolanya hingga bobot kapal 30 gros ton (GT). Sedangkan di atas 30 GT, sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan RI.
“Provinsi diberi kewenangan untuk mengelola kapal nelayan hingga bobot 30 GT tapi itu bukan dalam bentuk perizinan melainkan hanya dalam bentuk Tanda Daftar Kapal Perikanan (TDKP),” ujarnya.
Menurut Arif, dari dua poin kewenangan tersebut malah implementasinya di lapangan menimbulkan permasalahan dan seolah-olah membatasi nelayan untuk menggarap potensi perikanan yang dikandung oleh bumi pertiwi. Sebab, kapal-kapal nelayan yang bertonase mulai 5 GT hingga 30 GT, sudah beroperasi di luar batas jarak 12 mil.
Artinya, dari sisi bobot kapal masih menjadi kewenangan provinsi tapi dari sisi jarak sudah menjadi kewenangan pemerintah pusat, sehingga nelayan harus berurusan lagi dengan kementerian untuk pengurusan izinnya.