Dalam ekologi ada istilah frekwensi dan dominasi. Jika tidak diatur, maka frekwensi dan dominansi itu akan dikendalikan oleh yang paling kuat. Supaya tidak ada yang mendominasi maka, desain risetnya yang diatur. Ada kaidah, bila objeknya heterogen, maka kita kelompokkan untuk dapatkan homogenitasnya. Pengaturannya bernama rancangan acak kelompok (group randomized design).
Tapi, kalau objeknya sudah homogen, maka tidak perlu ada pengelompokan. Pengaturannya bernama rancangan acak lengkap (completely Randomized design).
Baca juga : Pengprov Pelti Sulteng Masa Bakti 2022-2027 Akan Dilantik 12 Maret
Pada hiruk-pikuknya Munas, saya sudah dengar isu gender. Saya juga telah dengar ada keinginan keterwakilan wilah negeri dari tiga zona. Indonesia barat, tengah dan timur. Tapi, yang terakhir ini melemah karena ada prasyarat berdomisili atau KTP Jakarta dan sekitarnya. Walau syarat ini sudah kurang relevan, berkaca pada teknologi digital. Satu hal yang luput sama sekali dari pemikiran kebanyakan adalah memilah antara politisi dan non politisi.
Justru, satu satunya manusia KAHMI yang menyadari itu adalah Ahmad Ali. Petinggi partai politik asal Sulawesi Tengah yang lantang dan tegas meminta kalangan partisan (parpol) untuk tidak usah ikut menjadi presidium KAHMI. Tapi, kurang mendapat respons.
Dan sekarang, kekhawatiran Ahmad Ali ini menjadi Fakta. Dominansi anggota partai.
Bagi kita, mungkin tidak mengapa anggota partai juga ikut. Sebab, itu hak seluruh anggota KAHMI.
Baca juga : Koran-Koran Lebaran
Persoalannya, kita tidak pandai membaginya. Minimal anggota partai, non partai dan unsur gender. Interseksi ketiga dimensi ini akan menemukan keseimbangan yang harmoni. Sayang itu tidak terjadi.
Pada periode yang lalu kita punya Mba Wiwik alias Sitti Djuhro. Dia sendiri. Namun, resonansi kesungguhan dan istiqamahnya dalam berfikir dan bertindak sangat terasa. Kali ini, tidak ada siapa-siapa lagi dari kaum ini. Mungkin, mereka terlalu sibuk bertikai pada teknis Munas antar mereka (FORHATI). Sampai mereka lupa tidak punya perwakilan satu pun di Presidum KAHMI. Padahal, prasyarat 30 persen kepekaan gender itu sudah puluhan tahun di dengungkan. Bahkan barangkali, penggagas adalah kita.