Oleh Tasrif Siara
Rabu 24 Januari 2023, bersama rombongan PT. Anissa Sam Alamin Palu, bertolak ke Bandara Pangeran Muhammad bin Abdulazis Madina, melalui Bandara Hasanuddin Makassar, kamis esok untuk umroh ke Tanah Haramain.
Diiringi bacaan talbiyah yang khusyu dan syahdu, disana, jutaan saudara muslim bermimpi untuk beribadah dalam jarak yang sangat dekat di Baitullah. Sebuah ritual peribadatan yang sangat ditunggu.
Untuk kesana, momentum selain haji, jalurnya adalah umroh karena umroh itu adalah kata lain dari menziarahi Ka’bah.
Perjalanan umroh apalagi haji, tak mirip seperti perjalanan biasa, seperti ke Jakarta atau ketempat lainnya. Tak heran, mereka yang pamit akan berangkat, maupun yang ditinggalkan “terjebak” dalam keharuan yang teramat dalam, kadang disertai dengan deraian air mata.
Perjalanan ke tanah suci memang sarat dengan nilai-nilai ritual dan spritualitas yang transenden. Saudara, kerabat dan tetangga tak henti memberi doa dan support kepada mereka yang akan menunaikan ibadah umroh apalagi haji.
Terkadang para kerabat memberi dukungan finansial, ada yang besar juga kecil. Namun disana mesti dibaca: ada keikhlasan yang tak bisa ditakar secara numerik
Para saudara dan kerabat itu menyimpan mimpi dan harapan, tolong doakan disana, agar bisa menyusul.
Bulan ini dan bulan-bulan seterusnya, jutaan saudara muslim dari seluruh penjuru bumi setiap saat bergerak serempak ke pusat titik bumi di Baitullah sana. Ia bisa kita sebut dengan Spiritual Journey yang kadang diliputi keharuan dan sangat emosional.
Pertanyaannya, kekuatan apa yang mendorong hingga jutaan manusia mau bergerak serempak itu ? Bahkan mengeluarkan duit yang tak sedikit, meninggalkan anak, cucu, istri, suami, saudara dan kerabat.
Ritual ibadah umroh, apalagi haji memang harus siap dari segala sudut. Fisik yang terjaga, dukungan finansial yang cukup, dan yang terpenting berangkat tanpa pretensi untuk kepentingan eskalasi sosial, kecuali untuk ketundukan pada Sang Maha Pencipta.
Dr. H. Nasaruddin Kepala Kantor Agama Kota Palu mengingatkan dalam sambutan pelepasan Jamaah Umroh Annisa Sam Palu, selain fisik dan finansial, hal yang harus disiapkan adalah hati yang bersih. Ia bahkan meminta jamaah untuk perbanyak istigfar.
Tekad dan niat yang tulus itu menjadi spirit menuju Tanah Suci oleh jutaan umat manusia yang merasa ada seruan talbiah yang harus diwujudkan. Dari sana, nantinya akan melahirkan energi dan gerakan serempak sembari memutar atau tawaf
di pusaran titik bumi: ka’bah.
Disana pula kita harus bisa merasakan bagaimana paniknya Bunda Siti Hajar karena anaknya Ismail yang terus menangis karena kehausan amat sangat, di tanah yang tandus dan gersang, sekian abad lampau.
Hentakan kaki bocah Ismail yang menangis kehausan itu, akhirnya memuncratkan air suci zam-zam, antara Bukit Safa dan Marwah.
Itulah repetisi yang harus kita lakukan saat haji atau umroh, melaksankan ritual Sa’i, berlari-lari kecil layaknya Bunda Hajar mencari seteguk air untuk anak tercinta.
Berkumpulnya ribuan manusia di Baitullah, juga harus dibaca sebagai sebuah demonstrasi dari kesatuan umat manusia. Ada semacam spirit humanisme universal. Dan Ka’bah adalah titik sentral dari kesatuan umat manusia itu.
Di Masjidil Haram kita akan berjumpa sesama saudara muslim sedunia. Pertemuan itu tak memandang stratifikasi atau hirarki keagamaan. Juga tak dilihat, apakah anda menuju tanah suci berjalan kaki atau naik pesawat pribadi, sepanjang sanggup, silahkan mendekat ke ka’bah.
Hal ini yang mengindikasikan, betapa kuatnya nilai spirit kemanusiaan dan demokrasi dalam Islam.
Memang, haji dan umroh sarat dengan simbolisasi ritualistik, makna bisa tertangkap jika kita ikhlas ke tanah haramain karena seruan talbiah yang khusyu yang dilantunkan dengan hati yang bersih, seperti seruan Dr. Nasaruddin.
Palu – Makassar, 24 Januari 2023