“Hidup tak melulu tentang ‘Apa yang bisa saya dapat? Apa untungnya bagi saya, Saya dapat apa?…”
Anita Anggriany Amier, Pemimpin Redaksi
Senin 20 Mret 2017
KEMATIAN Jurnalis Palu Ekspres (PE), Maria Yeane Agustuti (34) tahun, bagi kami tidak hanya menimbulkan kesedihan dan duka mendalam. Ini bukan hanya karena selama hidupnya Maria memberi kontribusi yang besar pada perusahaan.
Dia pekerja keras, dia menjadi representasi dari perusahaan tentang bagaimana seharusnya sikap jurnalis PE di mana dia berada, beradab, santun, namun tegas dan memiliki isi kepala.
Pada Perusahaan Maria menunjukan loyalitas, pengabdian tanpa pamrih, ketulusan, persahabatan, serta kekeluargaan. Bukannya tak banyak yang mengajaknya untuk pindah ke perusahaan media lain. Namun bertahan dengan kami, itu bagian dari kesetiaannya.
Di tengah kondisi perekonomian yang mempengaruhi naik turunnya omzet perusahaan, di pagi hari yang dingin di paruh Februari 2017, Maria menelpon saya yang sedang berada di Makassar untuk mengikuti pra RUPS perusahaan. Kami membicarakan banyak hal tentang pekerjaan.
Dan di Akhir pembicaraan Maria menyemangati saya, “Semangat Bunda!!! Kita sama-sama berjuang di PE hingga titik darah penghabisan,…!!”
Di tengah keharuan dalam dada, kami sama-sama terbahak mendengar kata-katanya itu. Lalu dia menutup salam takzim , “Selamat pagi, Bunda.. Tuhan berkati”.
Tak kami nyana hingga di akhir hayatnya Maria pun meninggalkan hikmah dan pelajaran besar bagi kami pribadi dan teman-teman di Palu Ekspres. Tentang apa arti kesetiaan dan pekerjaan menjadi bagian dari religiusnya .
Rasa-rasanya, tak banyak yang kami berikan ke Maria secara materi selama dia bekerja di PE. Selain kewajiban sebagaimana umumnya perusahaan kepada karyawan. Namun dedikasinya menjadi bukti bahwa hidup ini tak melulu soal untung rugi. Saya dapat apa? Apa yang bisa saya raih? secara material.
Tak pernah berlebihan dalam keseharian, Maria selalu bersahaja dalam apa saja. Baik penampilan, sikap dan tutur kata. Hanya saja dia tak bersahaja dalam pekerjaan. Selalu maunya sempurna.
Menulis panjang dan tuntas. Sering dia lupa bahwa tenggat waktu atau deadline redaksi sudah di ujung tanduk. Dengan lembut, dia membalas teriakan saya yang memburu tulisannya dengan sahutan “sedikit lagi bunda,” atau dengan wajah memelas di tengah waktu yang tak tersisa, “Bunda, masih bisa saya menulis satuuu sajaa berita?”