PALU EKSPRES, BOGOR – Trend pernikahan dini ternyata menjadi penyumbang tingginya angka perceraian.
Akibatnya, banyak wanita muda korban perceraian yang kerap digelari janda kecil.
Persoalan ini juga tidak lepas dari peran orang tua. Karena mereka sangat berperan dalam pernikahan dini anaknya.
Bahkan ada sebagian masyarakat yang punya acuan bahwa anak-anak adalah mereka yang berusia di bawah 13 tahun.
Pemahaman yang salah itu tentu harus dilawan. Jangan dibiarkan, lalu pasrah dengan menganggapnya sebagai takdir.
”Kalau bicara kasus pernikahan pada usia anak, banyak yang menyangka usianya 11 atau 13 tahun. Tapi, saat kami sebut usianya 17 tahun, mereka malah marah,” kata Adolescent Officer Unicef Indonesia Anissa Elok Budiyani.
Ditambah lagi dengan pergaulan muda-mudi yang semakin bebas. Adakalanya orang tua mau gampangnya, nikahkan saja anak perempuannya daripada sulit mengawasi.
Kondisi seperti itu membuat semakin banyak anak yang terseret dalam jebakan pernikahan dini. Ironinya dalam kondisi seperti itu, perempuan mendapat posisi yang lebih buruk daripada laki-laki.
Bahkan ada sejumlah orang tua yang memiliki motivasi tujuan dari menikahkan anak perempuannya untuk mengurangi beban hidup, dalam banyak kasus itu tidak tercapai.
Ambil saja contoh DS yang tinggal di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung. Memiliki suami (K), bukannya dinafkahi, DS malah harus menjadi tulang punggung keluarga.
K (22), sebenarnya hanya kenalan DS yang suatu saat pernah menumpang berteduh karena hujan deras. Dari sana desas-desus mulai muncul bahwa DS menjalin hubungan dengan K hingga hamil di luar nikah.
”Padahal, saya sudah punya pacar orang Kalimantan. Bukan dia,” ucapnya.
DS yang ketika itu masih 16 tahun sebenarnya tak ingin menganggap serius gosip tersebut.
Apalagi, dia saat itu tinggal di Jakarta dan bekerja di warung makan milik tantenya.
Namun, bara malah menjadi api. Sampai-sampai DS dan sang ibu datang ke dokter kandungan untuk mengecek kehamilannya.