Kini RS terus berusaha untuk hidup positif dan menikah lagi. Namun, dia mengaku memendam benci kepada putra sulung yang punya wajah mirip mantan suami. “Kalau ingat rasanya nggak enak. Saya jadi takut anak saya kayak bapaknya,” ungkapnya.
Kenangan menyakitkan itulah yang membuat dia aktif di Sapa Institut. Dia ingin pengalamannya tidak dialami anak-anak perempuan lainnya. “Menikah di bawah usia 18 tahun bukanlah pilihan yang tepat. Jangan sembarangan mengambil keputusan itu.”
Fenomena pernikahan anak sangat sulit diberantas karena kultur dan perekonomian di Indonesia memungkinkan hal itu. Di beberapa daerah minus di Jawa Barat, anak perempuan dianggap sebagai beban keluarga. Ketika dia menikah, berkuranglah beban keluarga. Satu anak perempuan menikah, berkuranglah beban satu piring nasi.
Karena belum siap, kelak si anak akan terjebak dalam kondisi kemiskinan seperti orang tuanya. Lagi-lagi kalau punya anak perempuan akan mengalami nasib seperti ibunya. Begitu seterusnya sehingga fenomena itu sangat sulit diputus.
(bil/mia/JPG/PE)