PALU EKSPRES, LUCCA – Solusi perang Syria rupanya masih jauh dari kenyataan. Setelah kasus penggunaan senjata kimia oleh rezim Bashar Al Assad disusul dengan aksi balasan AS dengan menembakkan 59 misil Tomahawk ke pangkalan militer Syria, tidak ada tindakan lanjutan yang berarti.
Pertemuan negara-begara G7 memang memberikan porsi besar bagi Syria dalam topik pembicaraannya. Namun, kesepakatan yang mereka peroleh masih menggantungkan nasib Syria di tangan Rusia.
Dalam pertemuan yang berlangsung di Kota Lucca, Tuscany Region, Provinsi Lucca, Italia, itu, menteri luar negeri dari Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, dan AS serius membahas perang sipil yang sudah berlangsung enam tahun tersebut. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Rex Tillerson mendapatkan porsi bicara paling banyak.
”Isi kesepakatan (2013) menunjuk Rusia sebagai penjamin pemusnahan senjata kimia Syria. Saat itu mereka bersedia melacak lokasi (gudang dan pabrik) senjata kimia tersebut, mengamankan, kemudian memusnahkannya. Tapi, ternyata sampai sekarang, Syria masih tetap menggunakan senjata kimianya. Ini bukti bahwa Rusia telah gagal menjalankan fungsinya,” papar Tillerson sesaat sebelum meninggalkan Italia untuk menuju Rusia.
Menlu AS yang punya hubungan dekat dengan Presiden Donald Trump karena sama-sama pebisnis itu menyatakan, Rusia tidak pernah serius menjalankan komitmennya. Sebab, jika Moskow serius, serangan gas beracun di Kota Khan Sheikhun pekan lalu tidak akan pernah terjadi.
Sebagai sekutu sekaligus mitra tepercaya, menurut AS, Moskow bisa dengan mudah melarang Damaskus melanggar hukum internasional.
”Tidak jelas apakah Rusia memang tidak mampu menjalankan komitmennya atau hanya tidak mau bertindak sesuai komitmen,” kata Tillerson. Dalam kesempatan tersebut, dia juga mengkritik ketidakseriusan Rusia dalam mencari solusi damai bagi Syria.
Dialog damai di Kota Astana, Kazakhstan, dianggap gagal merumuskan jalan keluar. Namun, AS masih berharap dialog damai lanjutan di Kota Jenewa, Swiss, nanti sukses.