Pernyataan KPK Soal Pidana dalam Kebijakan Megawati Terkait BLBI

  • Whatsapp

PALU EKSPRES, JAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) angkat bicara soal kebijakan pemerintah dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). KPK menilai tidak ada unsur tindak pidana korupsi dalam kebijakan yang dikeluarkan Presiden Megawati Soekarnoputri itu.

Kebijakan yang dimaksud adalah Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Bacaan Lainnya

“Memang itu kebijakan pemerintah, tapi tidak menjadi suatu tindak pidana korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam keterangan pers di kantornya, Selasa (25/4).

Basaria mengatakan, suatu kebijakan akan menjadi tindak pidana apabila di dalam proses dikeluarkannya  ada sesuatu yang dimanfaatkan oleh orang yang mengeluarkan kebijakan tersebut untuk kepentingan pribadi. Atau, bisa juga dimanfaatkan untuk menguntungkan kelompok atau orang lain.

“Kemungkinan bisa saja, tapi hari ini kita fokus ke SAT (Syafruddin Temenggung). Yang harusnya Rp 4,8 triliun dibayar dulu baru ada SKL,” ujar Basaria.

Sebelumnya, KPK menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka dalam kasus pemberian SKL BLBI kepada BDNI. Dia diduga melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi sehingga merugikan keuangan negara sebesar Rp 3,7 triliun.

Penyelidikan kasus BLBI telah dilakukan KPK sejak 2014 lalu. Penetapan tersangka Syafruddin setelah KPK menemukan alat bukti yang cukup berdasar gelar perkara (ekspose) dan permintaan keterangan sejumlah pihak.

KPK menemukan adanya indikasi korupsi dalam pemberian SKL kepada Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004. SKL itu terkait pemenuhan kewajiban penyerahan aset oleh sejumlah obligator BLBI kepada BPPN.

Basaria mengatakan, meski baru mengembalikan aset sebesar Rp 1,1 triliun dari total Rp 4,8 triliun, Sjamsul telah menerima SKL dari BPPN. Padahal, Sjamsul masih harus membayar Rp 3,7 triliun.

Pos terkait