PALU EKSPRES, PURWAKARTA – Program Keluarga Berencana (KB), tidak berlaku bagi pasangan suami istri Aa Suparman (51) dan Siti Fatimah (41). Dengan jumlah 13 anak, keduanya memperjuangkan buah hati mereka.
ADAM SUMARTO, Purwakarta
Dengan 13 anaknya itu (satu masih dalam kandungan) mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di areal pemakaman umum di Kampung Malang Nengah Wetan, RT: 11/RW 10, Kelurahan Nagri Tengah, Kecamatan Purwakarta.
Dua anaknya yang masih berusia 1 dan 2 tahun, bernama Prasetyo dan Midori, terpaksa diadopsi orang lain. Hal ini karena faktor ekonomi yang menghimpit keluarga tersebut.
“Memang seperti inilah kondisi keluarga kami. Saya pernah di-KB, tetapi tidak cocok. Wajah saya jadi kasar dan badan saya menjadi kurus. Karena itu, setelah melahirkan anak pertama yang kini telah berusia 25 tahun, saya enggan memasang alat kontrasepsi,” kata Siti sambil memegangi perutnya yang tengah hamil 8 bulan kepada koran ini, Kamis (5/5) malam.
Saat disambangi ke rumahnya, Siti dan kelurganya yang menempati kontrakan satu kamar ini pun terpaksa harus berdesakan dan berbagi tempat duduk di atas kasur lantai. Sementara itu, Aa Suparman, suami Siti, kesehariannya hanya mengandalkan penghasilan sebagai buruh serabutan.
“Penghasilan saya rata-rata antara Rp20 ribu sampai Rp30 ribu per hari. Dicukup-cukupi saja untuk keperluan biaya makan. Itu juga dibantu anak,” kata Aa.
Ketegaran dan ketabahan dirasakan Aa Suparman dan istrinya, untuk bisa tetap menyambung hidup anak anaknya. Dari hasil sebagai pekerja serabutan, juga memanfaatkan keahliannya sebagai tukang servis elektronik.
“Yang paling penting anak saya masih bisa makan,” ucapnya.
(add/din/yuz/JPG)