Warisan bukan satu-satunya tulisan yang membuat pengikut Afi terpukau. Perempuan yang mulai aktif mengunggah tulisan sejak kelas X SMA itu sering mengangkat tema pendidikan dan keberagaman. Semua ditulis dengan bahasa yang lugas, mudah dipahami, tapi memiliki makna yang begitu dalam.
Buat Afi, karya kritis yang dia hasilkan itu ibaratnya seperti diary. Sama halnya dengan The Diary of a Young Girl mendiang Anne Frank, inspirasi Afi dalam menulis. Anne Frank merupakan korban Holocaust, pembunuhan kejam besar-besaran yang berlangsung selama rezim Nazi. Frank menulis catatan pribadi tentang penindasan dan fasisme di bawah kekuasaan Nazi dalam kacamata seorang anak. Museumnya pernah menjadi scene film The Fault in Our Stars (2014). ”Buat remaja yang hidup di tengah perang, pemikiran dia sangat canggih dan dalam. Nggak terpikir, remaja 13 tahun bisa sehebat itu,’’ kata Afi.
Tema-tema tulisan Afi yang ”menggigit” itu tak jauh beda dengan Frank. Ketika menulis, dia nyaris tidak pernah membuat planning terperinci. Semua mengalir. Apa yang menarik, itulah yang ditulis. Butuh satu-dua jam buat Afi untuk merampungkan satu tulisan, yang lantas diunggahnya di Facebook.
Dipuji, dikritik, didebat, hingga dilaporkan karena unggahannya dinilai ofensif tidak jadi perintang buat Afi. Dia bakal terus menulis dengan berani dan apa adanya. Ada yang menyamakan Afi dengan Malala Yousafzai, aktifis muda Pakistan yang ditembak di bus oleh Taliban. Sama-sama menulis, sama-sama diancam mereka yang merasa gerah dengan tulisan itu namun Afi merasa masih jauh dengan Malala. ”Hahaha…saya belum ada apa-apanya,” ujarnya.
Meski begitu Afi yakin tulisannya yang diniati baik itu bisa berguna untuk orang lain. Pesan damai lewat tulisan kritis nan berani itu akan diterima semua orang meski dia tak tahu kapan itu. Sembari menunggunya, Afi mulai menata mimpi besarnya menjadi psikolog atau penulis sukses.
(fam/c6/ayi)