Oleh Tasrief Siara
INI catatan dua tahun lalu ketika menjadi bagian dari calon jamaah haji Indonesia, yang saat itu bersiap untuk wukuf di Arafah. Setelah sebulan lebih berinteraksi dengan penduduk dari seluruh bangsa dunia, tiba-tiba saya jadi teringat dengan wacana Islam Nusantara yang sempat hangat dibincangkan di tanah air beberapa waktu silam.
Dalam wacana yang berkembang, Islam Nusantara dipahami sebagai Islam yang berwajah moderat, toleran, inklusif. Mengedepankan kerukunan dengan semangat perdamaian. Islam Nusanatara juga mengakomodir budaya dan tradisi lokal, dan mampu beradapsi dengan lingkungan yang berbeda.
Dalam pandangan Said Akil Siroj Ketua Umum PB. NU pada Muktamar NU ke 33 lalu mengatakan, Islam Nusantara tidak memberangus budaya dan memusuhi tradisi, kecuali tradisi yang bertentangan dengan syariat.
Indonesia, dengan kekayaan keberagaman budayanya, yang bersumber dari etnisitas yang berbeda, adalah modal sosial yang juga mencirikan wajah Islam Nusantara.
Wajah ini terlihat, ketika ribuan calon jamaah haji Indonesia berbaur dengan ragam bangsa yang berjumlah sekira 3,4 juta umat Islam dunia yang tengah berada di Kota Makkah untuk menuaikan ibadah haji, wajah yang ramah, toleran, inklusif tetap menjadi ciri yang menonjol diantara jutaan calon jamaah haji dunia dengan karakter dan perilaku yang sangat bedah dengan kultur kita sebagai anak bangsa.
Untuk shalat lima waktu di dalam Masjidil Haram Makkah, setidaknya dibutuhkan waktu dua sampai tiga jam sebelum azan berkumandang, jamaah sudah harus berada di dalam masjid, bahkan shalat jumat tiga sampai empat jam. Kurang dari waktu itu pelataran masjid atau bahkan jalan raya yang didapat.