Fenomena diamnya sejumlah orang-orang baik itu diingatkan oleh Dawn Brown dalam novelnya Inferno (2013). Ia menyelipkan kalimat seperti ini, “tempat terpanas di neraka dicadangkan bagi mereka yang tetap bersikap netral di saat kriris moral”.
Hari ini kita menyaksikan, sejumlah orang-orang hebat telah masuk di ranah politik melalui jalur partai.
Kehebatan mereka ini sudah semestinya diimbangi dengan adanya sejumlah orang yang hebat pula di bidang pengawasan, bekerja secara independen, memiliki komitmen dan integritas untuk memperbaiki kualitas demokrasi.
Ibaratnya, saat ini kelas permainan para politisi kita sudah nyaris setara dengan kualitas permainan sepakbola di Liga Eropa. Untuk itu dibutuhkan sejumlah orang yang akan bekerja mirip dengan hakim garis dalam sepakbola.
Ketika hakim garis angkat bendera, maka wasit harus mengikuti apa kata hakim garis, karena para hakim garis itu adalah orang-orang yang netral bekerja di luar lapangan, ia dengan mata telanjang bisa melihat secara langsung setiap pelanggaran atau kecurangan terjadi di tengah lapangan permainan.
Untuk melahirkan seorang “hakim garis” yang baik dan benar, maka proses rekrutmen calon anggota Bawaslu harus menempatkan kejujuran sebagai pilar utama, tak berpihak, bebas dari pesanan politik.
Itu adalah komitmen team seleksi saat berjumpa dengan wartawan pada awal bekerja. Untuk itu pula sangat dibutuhkan pengawasan dari jurnalis, karena mereka adalah mata dan hati masyarakat.
Jika komitmen itu terimplementasi secara baik dan benar, maka proses pemilihan umum akan menghasilkan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, walikota/wakil walikota, presiden/wakil presiden, DPD, DPR dan DPRD yang berkualitas serta sesuai dengan kehendak masyakat pemilih.
Hanya dengan begitu Indonesia masa depan akan menjadi lebih baik, khsususnya kita di Sulawesi Tengah.