Oleh Aswar Hasan*
JIKA anda ingin hadir bersama dengan seorang penulis dalam suatu peristiwa yang sedang dibahasnya, maka bacalah kolom Arge (Abdul Rahman Gega). Di kolom itu, anda akan bertemu dengan penulisnya dalam sebuah peristiwa dengan masalah yang kelihatannya sederhana dalam kehidupan, namun pada akhirnya menjadi subtansial dan serius untuk dimasalahkan di tingkat nurani dan akal sehat.
Arge memang telah begitu sangat terlatih dan berpengalaman dalam menggiring pembacanya ke dalam relung kehidupan yang sedang direnunginya. Dalam hal ini, Arge memang jeli melihat fenomena hidup dan kehidupan, didukung dengan ketepatannya dalam memilih sudut masalah. Masalah yang disajikan, begitu hidup dalam pikiran pembaca. Ketika mengambarkan peristiwa yang dipersoalkannya, Arge begitu piawai mengurainya dengan pilihan kata yang tepat, dalam bangunan kalimat konstruktif dan harmoni.
Kepiawaian seorang Arge tersebut, karena ia tidak sekadar seorang wartawan, tetapi karena ia adalah seniman. Terlebih lagi, karena dalam sisi kesenimannya itu, Arge tak lain adalah seorang aktor sekaligus sebagai budayawan. Kita tahu, bahwa salah satu syarat dasar yang bersifat mutlak bagi seorang aktor, adalah kemampuan untuk menghayati sebuah peran. Maka pada sisi inilah, sangat memungkinkan untuk kita tidak perlu heran, manakala seorang Arge menulis, kemudian jika seseorang membacanya dengan penuh penghayatan, akan terbayang dan terasa bagaimana Arge seolah hadir bersama pembacanya, memersoalkan topik pembahasan.
Kepiawaian Arge adalah kemampuannya menari dengan kata-kata yang meliuk kesana kemari, dengan sesering mungkin melambung laksana unpan bola di garis finalti, kemudian menukik, menohok ke pertahanan lawan. Akhirnya, Arge tinggal mengeksekusi dengan sebuah kalimat pamungkas yang langsung menusuk jantung atau nurani kemanusiaan sang pembaca. Kita pun dibuatnya terhenyak, dan tersudut dalam ekstase kemanusiaan.
Satu demi satu kerabat komunitas angkatan Arge, berpulang keharibaan Ilahi. Wartawan kolomnis yang juga guru besar ilmu komunikasi dan hukum H.A.Muis, sudah lama pergi. Demikian juga dengan sahabat karibnya sesama seniman, budayawan, dan wartawan, yakni Arsal Al Habsi yang melegenda dengan istilah Wartawan Cowboy. Sang panglima puisi Husni Jamaluddin, juga telah mendahuluinya. Mereka telah lebih dulu ke alam Baqa, mendahului Arge. Kini, Arge menyusul mereka, menjumpai sang Khalik, untuk kemudian semoga kembali bisa “berjamaah” dengan koleganya di Syurga kelak, Amin.
Suatu ketika, sehabis melayat di pemakaman terakhir Husni Jamaluddin (sang panglima puisi, yang juga sahabat dekat Arge). teman saya, Husain Abdullah, dosen Unhas (kini staf khusus Wapres RI) yang juga adalah seorang wartawan, mengatakan; “kini.., Tuhan tinggal menyisakan kepada kita seorang Pak Arge.” “Ya, tinggal Pak Arge dari barisan seangkatannya, yang bagi kita secara emosional proximity, masih dapat diajak bersama-sama memikirkan dan memprihatinkan kondisi Sulsel dalam konteks keindonesiaan yang berbingkai budaya.” demikian, jawab saya”. Namun, akhirnya Tuhan Pun memanggil Arge. Esais handal itu, telah pergi. Dan, kita pun kehilangan. Khususnya saya yang oleh Pak Arge sering sering memanggil dengan sapaan; “Wahai Anak Muda.”
Uceng (panggilan akrab Husain Abdullah) pernah berkomentar dengan mengatakan; “Posisi Pak Arge saat ini, dapat kita ibaratkan, laksana si Burung Condor yang sudah semakin langka.” “Ya, jika di Tana Jawa sana mereka punya icon yang bergelar si Burung Merak atas diri sang budayawan WS. Rendra, maka setidaknya kita di Tana Celebes ini, juga seharusnya punya icon yang bergelar setingkat. Maka, gelar si Burung Condor saya pikir cukup tepat untuk sosok Pak Arge.” Demikian jawaban spontan saya. Maka, gelar si Burung Condor pun, mulai kami sematkan pada diri Pak Arge.
Burung Condor, adalah sejenis burung rajawali atau garuda yang sudah semakin langka dan termasuk makhluk yang dilindungi untuk dilestarikan. Ia sejenis hewan penjelajah yang perkasa, dan tak terkalahkan. Ia juga sering dialamatkan dengan simbol keangkeran, khususnya ketika bertengger di dahan pohon yang kering, dimana ia memantau alam sekitarnya. Kehadirannya secara mendadak yang disertai tingkah aneh, biasanya oleh penduduk yang menahyulkannya, ditafsirkan sebagai isyarat bakal terjadinya peristiwa yang luar biasa. Kelangkaannya, membuatnya terbiasa mengelana seorang diri, dan tetap tegar dalam kesendiriannya.
Nama si burung condor yang sudah begitu melegenda itu, pernah diabadikan dalam setidaknya dua judul film. Diantaranya, yang berjudul: “Three Days of The Condor” yang dibintangi oleh Robert Redford, dan “The Return of the Condor Heroes” yang diangkat dari novel silat karya Jin Yong, dan dibintangi oleh aktor top Andy Lau.
Bung Arge, si Burung Condor dari Timur. Itulah gelar yang pernah kami sematkan di pundakmu. Engkau telah menunaikan tugas sejarahmu. Namamu tertulis indah di langit kenangan para budayawan dan seniman Makassar. Takkan lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan. Selamat jalan wahai si Burung Condor. Terbanglah melintas ke alam sana, membawa serta amal jariahmu. ***
*Dosen Fisip Unhas Makassar, Ketua Komisi Informasi Provinsi (KIP) Sulsel.