Melakukan puasa benar-benar dibutuhkan kejujuran. Bahkan pada umumnya orang yang berpuasa otomatis akan berlaku jujur, terutama makan dan minum. Orang yang berpuasa tidak akan diam-diam makan atau minum kemudian mengaku sedang berpuasa.
Pertanyaannya sekarang, adalah benarkah orang yang berpuasa itu benar-benar telah berlaku jujur? Perlu dilakukan evaluasi secara internal masing-masing individu, yang tentunya evaluasinya dengan jujur pula. Sudahkah para pedagang yang berpuasa berlaku jujur dalam takarannya?
Sudahkah para pengelola proyek yang berpuasa berlaku jujur dalam pekerjaannya? Sudahkah para pejabat yang berpuasa berlaku jujur dalam kebijakannya?
Apakah para politikus yang berpuasa sudah berbicara dengan jujur? Apakah para penegak hukum yang berpuasa sudah bertindak dengan jujur? Jawaban semua itu kembali pada diri masing-masing. Kebiasaan jujur tersebut, kiranya dapat dilestarikan setelah Ramadan, dengan penuh harap bisa mencapai derajat muttaqin (orang-orang yang bertakwa).
Shiyam adalah ibadah pengendalian diri. Puasa lebih bermakna jika kendali diri dapat dikuasai. Betapa kebiasaan dan kebutuhan makan dan minum pada siang hari mampu kita kendalikan dengan meninggalkannya, sebagai wujud ketaatan bahwa untuk sementara itu tidak boleh dilakukan karena sedang berpuasa.
Mampu menghindari rafats (perbuatan maksiat) pada siang hari, karena adanya keyakinan bahwa itu pelanggaran. Kebiasaan merokok mampu ditinggalkan karena ada larangan.
Semua kebiasaan tersebut mampu kita kendalikan dan tinggalkan, walaupun itu pada awalnya dibolehkan, bahkan menjadi kebutuhan. Ini tentu dilakukan, karena kekuatan shiyam. Tetapi apakah orang yang berpuasa benar-benar sudah mengendalikan diri dalam segala hal?
Sebaiknya kita perlu merenung lagi.
Semestinya orang yang berpuasa mampu meninggalkan perkara-perkara yang makruh apalagi haram. Mari kita bertekad untuk berusaha tidak melakukan perbuatan sia-sia, terlebih lagi perbuatan yang dilarang.
Kenapa tidak? Yang halal saja mampu kita tinggalkan dengan penuh ketaatan karena adanya larangan sementara waktu, maka logikanya lebih-lebih pada persoalan yang makruh dan haram, mestinya lebih mampu kita hindari. Sebagaimana istilah dari Zainuddin MZ “Intinya adalah pengendalian diri.”