Cerita di Balik Pembangunan Masjid Agung Darussalam Palu

  • Whatsapp

PALU EKSPRES, PALU – Masjid Agung Darussalam yang terletak di jalan W.R. Supratman Palu Barat, Kota Palu, saat ini merupakan Masjid terbesar di Provinsi Sulawesi Tengah. Masjid dengan luas bangunan mencapai kurang lebih 2.500 meter persegi, dan dibangun di atas tanah seluas hampir 5 hektare tersebut, dalam sejarah pembangunannya mengandung semangat besar gotong royong dari masyarakat Palu dan sekitarnya.

Laporan: Imam El Abrar, Palu Barat

Bacaan Lainnya

Kesan sederhana langsung terasa ketika masuk di gerbang Masjid Agung Darussalam Palu. Dengan hanya berbentuk kubus, Masjid terbesar di Sulteng ini dibangun dengan konsep sederhana, dan minim ornamen-ornamen, kecuali hiasan dominasi warna hijau, yang bercampur warna kuning dan merah di bagian kubah, baik kubah utama maupun kubah di empat pilar yang berdiri di tiap sudutnya.

Masjid Agung dibangun dengan dua lantai. Lantai dasar dimanfaatkan untuk beberapa ruangan sekretariat, kantor, serta ruang auditorium besar yang sering dipakai untuk hajatan masyarakat, seperti pernikahan, musyawarah ataupun kongres. Sedangkan lantai atas digunakan sebagai ruang salat yang diklaim mampu menampung hingga lima ribu jamaah.

Kesan lapang dan lega langsung terasa ketika jamaah masuk ke dalam ruang salat utama. Di dalam ruang salat, berdiri belasan tiang beton penyangga atap. Senada dengan bagian luar yang minim ornamen, tiang-tiang beton berlapis keramik tersebut juga dibiarkan berwarna alami keramik, tanpa ornamen.

Hiasan-hiasan hanya terlihat di bagian dalam kubah Masjid, yang diberi lukisan bermotif floral. Jelang bulan Ramadan 1439 H/2018 M, para pengurus Masjid telah menambahkan hiasan interior ruang salat, dengan menambah belasan ornamen berlampu penerang yang menempel di sepanjang dinding bagian depan.

Sejarah pembangunan Masjid Agung Darussalam Palu, sebagaimana dituturkan Wakil Ketua Umum Pengurus Masjid, Helmy D. Yambas, dimulai sekira tahun 1976, atas prakarsa para ulama murid Sis Aljufri (Guru Tua). Saat itu, Provinsi Sulteng masih dipimpin Gubernur Mayjend TNI (Purn) Dr. Inf. Albertus Maruli Tambunan (AM Tambunan), dan baru memiliki empat Kabupaten, salah satunya Kabupaten Donggala yang beribukota di Palu. Gagasan para ulama tersebut, lalu disambut baik oleh pemerintah Provinsi.

Ketika itu, Gubernur AM Tambunan dipercayakan sebagai penasehat pembangunan, sedangkan Ketua Pelaksana Pembangunannya dipercayakan pada Bupati Donggala saat itu, Abd. Aziz Lamadjido. Masjid Agung kata Helmy yang ditemui pada Sabtu 19 Mei 2018 usai salat ashar, dibangun atas gagasan bahwa Sulawesi Tengah saat itu membutuhkan adanya sebuah Masjid besar dan modern, sebagai identitas daerah.

“Di sini kan mayoritas Muslim, dan memiliki madrasah besar di Indonesia Timur yakni Alkhairaat. Memang juga ada kebutuhan sebuah Masjid besar di Palu sebagai Ibukota Provinsi. Waktu itu dana-dana pembangunan Masjid cukup besar, dan cukup terbuka peluang untuk kita manfaatkan,” kata Helmy.

Meski begitu, ia mengungkapkan bahwa saat itu akses ke pemerintah pusat sangat minim. Sehingga, Masjid Agung akhirnya dibangun betul-betul hanya mengandalkan kekuatan APBD Provinsi Sulteng, bersama dengan bantuan dari beberapa masyarakat. Helmy menuturkan, pada awal pembangunan, pihak panitia tidak mengalami kendala berarti utamanya berkaitan dengan pembebasan lahan milik warga.

Para pemilik tanah kata Helmy, sebagian besar mewakafkan tanahnya, namun ada pula yang melalui proses ganti rugi.

Pos terkait