Menanti Sanksi Dewan Adat

  • Whatsapp

DEWAN Adat Kota Palu (DAKP) mengeluarkan pernyataan menarik: Menolak gerakan ganti presiden 2019 melalui media sosial. Isinya terbilang menyeramkan juga. Pertama, tidak mentolerir adanya segala bentuk #2019gantipresiden yang dapat mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keamanan di Kota Palu.
Kedua, Lembaga Adat berharap kepada aparat keamanan untuk tidak mentolerir gerakan apapun yang dapat mengganggu keberlangsungan pembangunan di Kota Palu dan wilayah NKRI.
Ketiga, Lembaga adat juga akan memberikan sanksi adat kepada To Sala (yang melanggar aturan adat), berupa sala mbivi (ucapan), sala baba (perilaku), sala kana (perbuatan) dan ombo atau tatanan nilai yang mengatur hubungan manusia dengan alam. Sanksi itu diberikan agar memberi efek jera kepada mereka yang suka menebar #2019gantipresiden di media sosial. Begitu bunyi pernyataan itu.
Pernyataan sikap DAKP itu direspons secara beragam. Ada yang setuju dan juga banyak yang tidak setuju. Seorang kawan bertanya pada saya, apakah setuju dengan pernyataan itu? saya bilang sangat setuju, tapi konteksnnya tidak semata pada persoalan #2019gantipresiden yang katanya marak di media sosial.
Soal melempar hastag ganti presiden 2019 di media sosial, itu adalah bagian dari dinamika demokrasi. Tak ada nomenklatur hukum atau undang-undang yang dilanggar jika seseorang mengatakan secara lisan dan tertulis ganti presiden. Dan negara menjamin sikap politik seseorang, karena perbedaan pandangan politik itu tidak mengandung unsur fitnah apalagi melecehkan. Mesti dipahami, negara Indonesia saat ini mulai memasuki fase pematangan demokrasi yang substansial. Berbeda pandangan dan sikap politik mulai disikapi sebagai hal yang wajar. Pemilu legislatif dan presiden telah berulang dilakukan, dan itu tanpa pertumbahan darah seperti pada negara dunia ketiga lainnya. Untuk itu perbedaan pandangan politik seseorang tidak akan mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keamanan, apalagi melanggar etika budaya. Makanya akan menjadi aneh jika sikap politik seseorang itu akan di givu atau disanksi oleh lembaga adat.
Lembaga adat itu tidak boleh bekerja seperti Lembaga extraordinary zaman orde baru dulu bernama Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, populer dengan Kopkamtib, diketuai oleh Laksamana Soedomo. Lembaga ini dulu, dapat menangkap dan menahan seseorang karena sikap politik. Orang ditahan tanpa proses hukum karena alasannya mengganggu stabilitas pembangunan nasional. Makanya sangat tidak elok jika ada warga Kota Palu di Givu karena viralkan #2019gantipresiden, alasannya mengganggu kenyamanan, ketertiban dan keamanan dan keberlangsungan pembangunan di Kota Palu dan wilayah NKRI.
Akan jauh diterima masyarakat jika pernyataan sikap DAKP bertujuan untuk melindungi warga Kota Palu dari ancaman infiltrasi gerakan penebar informasi kebencian, fitnah, intoleransi, hasutan, berita bohong atau hoax di media sosial. Aksi itu jika tak diatasi dari sekarang, ia akan makin bergelembung dan berdampak pada persepsi seseorang yang gampang tersegregasi. Akhirnya warga terbelah menjadi suka dan tidak suka. Sikap seperti itu adalah terkategori penyakit sosial, gampang menular dan kadang sulit diobati. Inilah ancaman serius dalam sistem sosial kita. Ia harus segera diatasi karena efeknya akan merusak sistem nilai budaya kita yang mengedepankan harmoni dan toleransi. Sistem nilai seperti itu telah melembaga di masyarakat kita, bahkan telah mentradisi, disebut dengan adat istiadat. Sistem nilai ini harus terus dirawat dan itu dibawah kendali DAKP. Saya sangat setuju jika lembaga adat seperti DAKP itu melakukan kontrol sosial di media sosial karena hari ini lalulintas informasi di media sosial itu sangat miskin etika komunikasi.
Pendekatan sosial budaya itu sangat perlu dikedepanan dalam menjawab persoalan sosial karena para pengguna media sosial di zaman now ini, tanpa sadar telah mendegradasi system sosial budaya kita. Dulu kita bilang bangsa yang santun, tapi kini kita kehilangan kesantunan karena digerus oleh rezim kebebasan informasi, namun miskin etika. Padahal membunuh karakter seseorang melalui media sosial sama kejamnya dengan perampok sadis yang menghabisi nyawa seseorang tanpa rasa kemanusiaan.
Hari ini orang begitu gampang menggandakan fitnah dan dusta khususnya informasi kebencian, intoleransi, hasutan, berita bohong melalui media sosial itu. Ia tak lagi dianggap sebagai sesuatu yang melanggar etika sosial, budaya dan adat istiadat. Makanya lembaga adat diwilayah keadatan Kota Palu perlu melakukan intervensi, khususnya tindakan pencegahan dan penindakan agar warga kota Palu tidak sala mbivi , sala baba dan sala kana. Pada persoalan seperti ini lembaga adat perlu bereaksi, dan kita menanti itu. (Tasrif Siara)

Pos terkait