Kunci Kesuksesan

  • Whatsapp

MANUSIA lebih mulia dari semua makhluk yang diciptakan Allah, karena fungsinya sebagai khalifah. Namun ada makhluk yang tidak berpredikat sebagai khalifah, tapi mulia karena ketaatannya itulah malaikat. Pada diri setiap orang terdapat dua dimensi kepribadian.
Pertama, dimensi kemalaikatan. Inilah yang mendorong seseorang untuk peduli kepada sesama, mudah tersentuh oleh penderitaan orang lain, gemar melakukan kebajikan serta senang berbagi kasih. Dimensi ini senantiasa mengarahkan seseorang untuk dekat kepada Allah.
Kedua, dimensi kebinatangan. Inilah yang menyebabkan seseorang tidak senang melihat kebahagiaan orang lain, merasa iri terhadap kesuksesan yang diraih seseorang, mendorong seseorang untuk berbuat zalim terhadap sesama. Dimensi ini selalu mengajak seseorang untuk dekat kepada setan.
Dimensi kemalaikatan dan kebinatangan, saling berebut pengaruh pada diri setiap orang dan merupakan peperangan yang tiada henti. Untuk memenangkan pertempuran ini Alquran menuntun “Minta tolonglah kamu kepada Allah dengan sabar dan salat, sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk”. (QS. Al-Baqarah/2: 45).
Dalam kehidupan ini, emosi merupakan sesuatu yang sangat penting untuk diperhatikan. Karena tidak ada keputusan yang diambil murni berdasarkan rasio atau pemikiran, tapi selalu bermuatan emosional. Padahal emosilah yang menentukan suka duka, kesuksesan dan kegagalan, bahagia dan sengsaranya seseorang, bukan pada rasio. Itulah sebabnya para ahli mengingatkan agar memperhatikan kecerdasan emosional disamping kecerdasan intelektual.
Riset membuktikan bahwa banyak orang yang memiliki kecerdasan intelektual justru dipekerjakan oleh orang yang lebih bodoh daripada dirinya. Hal ini berarti kesuksesan tidak ditentukan oleh kecerdasan intelektual, melainkan kecerdasan emosional.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk mengendalikan emosi atau mengendalikan diri, dalam Islam disebut sabar. Orang yang paling sabar adalah orang yang paling tinggi kecerdasan emosionalnya. Kalau bekerja dia ulet dan bersungguh-sungguh, kalau belajar dia tekun sehingga mampu mengatasi masalah dan gangguan yang dihadapi, dan tidak memperturutkan emosinya.
Ada sebuah riwayat tentang kesabaran yang diceritakan ustad Jalaluddin Rakhmat dalam bukunya Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik: Di masa Rasulullah, ada perempuan yang memiliki anak kecil. Perempuan itu seorang Muslimah, ia tidak bisa membaca dan menulis tetapi dia mukmin sejati. Keimanannya dibuktikan dalam kesabaran ketika menghadapi ujian.
Suatu hari anaknya itu sakit, sementara suaminya berada di tempat yang jauh untuk bekerja. Anak kecil itu akhirnya meninggal dunia ketika suaminya bekerja. Perempuan itu duduk di samping anaknya dan menangis sejenak. Ia terjaga dari tangisnya.
Ia menyadari sebentar lagi suaminya akan pulang. Ia bergumam, “kalau aku menangis terus menerus di samping jenazah anakku ini, kehidupan tidak akan dikembalikan kepadanya dan aku akan melukai perasaan suamiku. Padahal ia akan pulang dalam keadaan lelah.”
Kemudian ia meletakkan anaknya yang sudah meninggal itu pada suatu tempat. Tibalah suaminya dari tempat kerjanya yang jauh. Ketika suaminya hendak masuk ke rumah, istri itu menyambutnya dengan senyum ramah. Ia sembunyikan kesedihannya. Ia sambut suaminya dengan mengajaknya makan.
Ia basuh kaki suaminya itu. Suaminya berkata mana anak kita yang sakit?” Istrinya menjawab, “Alhamdulillah ia sudah lebih baik.” Istri itu tidak berbohong karena anak kecilnya sudah berada di surga yang keadaannya jauh lebih baik.
Istri itu terus berusaha menghibur suaminya yang baru datang. Ia mengajak suaminya untuk tidur hingga terbangun menjelang waktu subuh. Sang suami bangun, mandi, dan salat qabla subuh.
Ketika ia akan berangkat ke masjid untuk salat berjamaah, istrinya mendekat sambil berkata, “Suamiku, aku punya keperluan.” “Sebutkanlah,” kata suaminya. Sang istri berkata, “Kalau ada seseorang yang menitipkan amanat kepada kita, lalu pada saatnya orang itu mengambil amanat tersebut dari kita, bagaimana pendapatmu kalau amanat itu kita tahan dan kita tidak mau memberikan kepadanya?” Suaminya menjawab, “Pastilah aku menjadi suami yang paling buruk akhlaknya dan khianat dalam beramal. Itu merupakan perbuatan yang sangat tercela.
Aku wajib mengembalikan amanat itu kepada pemiliknya.” Lalu istrinya berkata, “Sudah tiga tahun Allah menitipkan amanat kepada kita. Kemarin, dengan kehendak-Nya, Allah mengambil amanat itu dari kita. Anak kita sudah meninggal dunia. Ia ada di kamar sebelah. Sekarang berangkatlah engkau dan lakukan salat.”
Suaminya pergi ke kamar untuk menengok anaknya yang telah meninggal. Ia lalu pergi ke masjid untuk berjamaah di masjid Nabi. Pada waktu itu Nabi menjemputnya seraya berkata, “Diberkatilah malam kamu yang tadi itu.” Malam itu adalah malam ketika suami istri bersabar dalam menghadapi musibah.
Dari cerita tersebut, dapat dipahami bagaimana seorang istri memperlakukan suaminya dengan sabar dan suami memperlakukan istrinya dengan sabar pula. Keduanya memiliki kecerdasan emosional yang tinggi. Biasanya keluarga seperti ini dapat bertahan lama dan langgeng dalam kehidupan rumah tangganya. Ali Karramallahu Wajhah berpesan, “Jadikan sabar sebagai kendaraan hidupmu dan takwa sebagai bekal kematianmu”. ***

Pos terkait