PALU EKSPRES, JAKARTA – Ketua Bidang Ekonomi Pemuda Muhammadiyah, Ahmad Fanani menilai dugaan pertemuan yang terjadi antara Deputi Penindakan KPK, Brigjen Pol Filri dengan Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB), Muhammad Zaenul Majdi alias Tuan Guru Bajang (TGB) berpotensi keras melanggar Undang-Undang KPK.
Pertemuan dengan agenda bermain tenis bersama, menurut Ahmad bermasalah mengingat TGB santer diisukan berada di pusaran kasus dugaan korupsi divestasi saham PT. Newmont yang tengah diselidiki lembaga antirasuah.
“Secara etis pertemuan tersebut jelas bermasalah, deputi penindakan terang telah mengangkangi kode etik pimpinan. Jika benar ada aroma pengamanan kasus, Firli malah layak dikenakan sanksi pidana,” tegasnya pada JawaPos.com, Rabu (18/9/2018).
Dia juga menilai, pertemuan tersebut bukan sekadar bermain tenis bersama, melainkan ada tujuan tertentu yang ada kaitannya dengan kasus Newmont. Apalagi, ada kedekatan TGB dengan Firli.
“Bagi publik, sulit rasanya menafikan pertemuan tersebut tak berkaitan dengan kasus divestasi Newmont yang tengah ditangani KPK, mengingat kedekatan keduanya saat Firli menjabat Kapolda NTB,” jelasnya.
“Terlebih lagi dari awal masyarakat sipil juga sempat meragukan integritas Firli yang mangkir melaporkan LHKPN sedari 2002,” tambahnya.
Bahkan, sebut Ahmad, jika terbukti pertemuan tersebut mempunyai maksud lain seperti guna pengamanan kasus yang tengah ditelaah lembaga ini. Maka, Firli berpotensi terancam sanksi pidana.
Karena sudah jelas, dalam Pasal 36 UU KPK dijelaskan, pegawai KPK dilarang mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung. Oleh karena itu, adanya pertemuan Firli dengan TGB mencuatkan deputi penindakan ini melanggar etik.
“Pasal 36 UU melarang pimpinan KPK mengadakan hubungan langsung atau tidak langsung dengan tersangka atau pihak lain yang ada hubungan dengan perkara tindak pidana korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan apa pun,” tuturnya.
Kemudian, ada juga pasal lain yang menegaskan pegawai KPK dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, jika melanggar ketentuan Pasal 36 UU KPK.