Justru pihaknya khawatir KPU di kabupaten/kota tidak mampu menerjemahkan pemberian hak tersebut dengan baik.
Saat pilkada 2018, pihaknya mendapati ada 400 pemilih penyandang disabilitas mental di sebuah panti di Bekasi yang tidak masuk DPT.
Rupanya, oleh KPU seÂtempat sudah diberikan keterangan, 400 orang itu terkena gangguan jiwa berat. “Ini kan kalau dalam tanda kutip penghilangan tersistematis,” tutur Afif, sapaannya.
Yang penting, para ODGJ wajib didata dulu dan masuk DPT. Bila nanti dokter menyatakan yang bersangkutan menderita gangguan jiwa berat, hak pilihnya juga tidak wajib digunakan.
“Orang ini dimasukkan dulu, baru kalau berat dikeluarkan. Bukan ditafsirkan berat, lantas tidak boleh masuk (DPT),” tambahnya.
Data Kementerian Kesehatan pada 2017 menunjukkan, secara keseluruhan jumlah ODGJ dengan usia di atas 15 tahun sekitar 14 juta jiwa.
Dari jumlah itu, 400 ribu di antaranya merupakan penderita gangguan jiwa berat seperti skizofrenia. Sisanya memiliki tingkat gangguan jiwa yang bermacam-macam, termasuk yang “masih” pada tahap depresi.
Stigma masyarakat terhadap ODGJ belum bisa sepenuhnya hilang. Salah satu buktinya, kasus pemasungan masih marak.
Human Rights Watch merilis, pada Juli lalu dilaporkan masih ada 12.832 penyandang disabilitas psikososial yang dipasung atau dikurung di ruang sempit.
Tidak sedikit pula yang dipaksa masuk ke pesantren-pesantren yang menyediakan pusat penyembuhan.
Stigma sebagai warga kelas dua membuat sejumlah pihak berusaha menghilangkan hak-hak para ODGJ.
Padahal, versi Human Rights Watch, mereka juga merupakan manusia yang memiliki hak asasi. Tidak jarang ODGJ mendapatkan pelecehan karena kondisinya itu. (byu/c9/agm/jpnn)