BANYAK cerita yang tersaji di balik dahsyatnya bencana alam gempa bumi, tsunami dan likuefaksi yang melanda Kota Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) pada 28 September 2018 lalu. Salah satunya, kisah romansa salah seorang relawan penanggulangan bencana asal Jawa Timur, yang menemukan jodohnya salah seorang penyintas bencana di Palu. Keduanya mantap melangsungkan pernikahan, pada Selasa 18 Desember 2018.
Laporan: Imam El Abrar, Talise
Raut wajah Rudianto (30 tahun) yang awalnya terlihat tegang seketika menampakkan kelegaan, usai menjalani ijab kabul di hadapan penghulu di pagi hari jelang siang yang cerah itu. Sejak saat itu, ia secara resmi menjadi suami dari Nahdiyanti (26).
Rudiyanto adalah salah seorang relawan dari Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Jawa Timur. Ia juga sejak tahun 2008 telah menjadi anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Dinas Sosial Jawa Timur. Ketika mendapat panggilan untuk menjadi relawan bencana di Palu, ia dengan sigap menyatakan kesediaannya. Tak disangka, kemantapan tersebut ternyata membawanya bertemu dengan jodohnya.
Rudiyanto yang akrab disapa Daffa bercerita, ia dan istrinya awalnya dikenalkan oleh salah seorang anggota Tagana dan MDMC Sulteng, Jaslin, setelah ia mengungkapkan niat untuk menikah.
Oleh Jaslin, Rudiyanto lalu dikenalkan dengan Nahdiyanti, yang berprofesi sebagai guru di salah satu Madrasah swasta di Kota Palu.
Nahdiyanti, putri dari pasangan Slamet Kartadi dan Hasmiah Andi Saraping, merupakan salah seorang penyintas bencana yang terjadi pada bulan September lalu. Rumahnya yang terletak di jalan Teluk Raya, Kelurahan Talise Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, sempat mengalami kerusakan akibat tsunami yang terjadi di Teluk Palu.
Salah seorang saudara Nahdiyanti, Mulyadi Slamet bercerita, pada saat kejadian Nahdiyanti bersama keluarganya yang lain berada di dalam rumah, saat gempa bumi berkekuatan 7,4 mengguncang wilayah Palu dan sekitarnya. Sekeluarga penghuni rumah tersebut lalu berlarian menuju Jalan RE Martadinata yang lokasinya lebih tinggi dari rumah tersebut.
“Setelah gempa mereka lalu berlarian ke ketinggian. Bapak sempat melihat ombak besar datang, lalu mereka berlari lebih cepat,” tutur Mulyadi.