Namun, ada satu yang terkesan diabaikan. Yakni, oknum yang memesan atau hendak menggunakan jasa prostitusi. Selama pengamatan saya sejak hari berita VA dan AS tersebar, sama sekali belum diungkap siapa sejatinya pengusaha asal Surabaya yang kuat membayar tarif Rp 80 juta itu.
Padahal, sangat tidak adil jika masyarakat dan aparat hanya menindak tegas si artis atau mucikari. Lihat saja, yang harus menanggung malu adalah VA dan AS yang “hanya” memenuhi permintaan si pemesan. Sementara itu, si pemesan lolos dari sanksi sosial. Hampir tidak ada yang mempermalukannya karena nekat menggunakan jasa prostitusi online.
Dengan demikian, harus ada upaya untuk mengusut siapa pemesan tersebut. Atau mungkin jaringan pemesan jika bisnis prostitusi sudah sampai ke level yang lebih luas. Pemesan pun harus mendapat perlakuan serupa. Jangan hanya mucikari atau si artis. Sebab, bisnis prostitusi bisa bergerak karena mereka, para pemesan. Kalau tidak ada yang pesan, tentu tidak ada yang menyediakan, bukan?
*) Penulis dan pengamat gaya hidup
(Disarikan dari hasil wawancara wartawan Jawa Pos Glandy Burnama/c11/agm)