Oleh: Nur Sang Adji
PAGI ini, 19 Maret 2019, kami berkesempatan bincang ringan bersama Bupati Morowali, Bapak.Taslim. Sekitar jam 05. 45 pagi, kami meluncur ke Rujab Bupati, dikomandoi Korpres dan Sekjen IKA UNTAD, Arifin Sunusi dan Muzakir Tawil. Ada sejumlah senior : Eko, Mulyono, Jayani juga ikut serta.
Tidak ketinggalan Hauriz sebagai penjaga “traveling record”.
Dengan rendah hati, beliau (Bupati) cerita tentang banyak yang mengkonotasikan negeri ini terbelakang. Ini karena kata Bungku itu sendiri dalam makna aslinya, adalah belakang. Lalu, dimaknai tertinggal.
Baru kita tersentak, ketika di perut bumi negeri yang dianggap terbelakang ini, ternyata menyimpan kekayaan berlimpah.
Tambang nikel berskala raksasa dengan smelter yang telah beroperasi, ada di sini. Kapal-kapal ber-tonase besar, berjejer membuang sauh di
pesisirnya. Saya lihat dengan mata saya sendiri, suasana bandar laut yang ramai. Seperti laron mendekati cahaya lampu, manusia dari banyak penjuru, dalam dan luar negeri berdatangan.
Bagai disulap, munculah kota kecil di ladang tambang.
Tahun 1989, lepas sekolah di Universitas Tadulako, saya menginjakan kaki untuk pertama kali di Bungku-Morowali. Saya datang dengan tujuan belajar hidup. Memburu pengalaman kerja di perkebunan kelapa sawit. Inilah kebun sawit yang pertama di Sulawesi Tengah.
Di sini, saya mendapat bekal untuk menikah.
Saat di kebun sawit ini, baharu saya tahu, kalau
ada rekatan geneologis di kampung bernama Pongkuilu, Bungku Tengah. Ada sejumlah paman dan kakek ku telah lama bermukim. Mereka datang sebagai pelaut dan pemburu ikan roa dari pulau Maluku. Mereka dipandu oleh jalur relasi historis kesultanan Tidore, Ternate dan Bungku, berabad silam.
Waktu tinggalkan Palu, tak terbayang betapa jauhnya tempat ini. Dengan medan dan kondisi jalan yang sangat buruk, saya butuh waktu tiga hari lamanya. Sekarang, tinggal 10 sd
15 jam dengan mobil dan 45 menit dengan pesawat. Bungku tidak lagi terbelakang.Pelajaran besar untuk tidak memandang remeh yang di belakang.
Robert Chamber menulis dengan sangat menarik. “Development of village from behind”.
Beliau juga menyoroti perhatian kita yang kurang (under estimate), kepada mereka yang di belakang. Populer sekali sentilannya: “put behind in the first”. Mengajak kita untuk menghargai mereka yang di belakang. Boleh jadi, karena stakeholder terpentingnya adalah mereka yang duduk di deretan itu.
Posisi belakang ini acap kali tercipta tak sengaja, karena pendidikan. Cara guru yang mengajar dengan tagihan PR.
Sering dimulai dari mereka yang duduk di depan. Sejak saat itulah, anak-anak Indonesia, takut mengambil posisi di depan. Tradisi VIP (very important person) makin memperkokoh hal ini. Tanpa sadar, kita telah meng-kelaskan manusia berdasarkan status sosial mereka. Sesuatu yang tidak boleh ada di shaf masjid atau tempat ibadah yang lainnya.
Di dunia ekologi, posisi belakang biasanya ditempati hutan pedalaman.
Dia mengatur tata hidrologi bagi kehidupan di bawahnya. Tanpa hutan, tidak ada pertanian. Dan, tanpa pertanian tidak ada kehidupan. Belakang, ternyata adalah penyokong bahagian depan yang maha penting. Dapur juga lebih sering ada di belakang. Tanpa dapur, makanan sulit tercipta.
Dalam dunia sepak bola, belakang adalah benteng penjagaan. Sementara tengah adalah penghubung dan pembagi.
Lantas, depan adalah penyerang. Semua bekerja dan berkontribusi di atau dari posisi masing masing.
Mungkin itulah sebabnya, Ki Hajar Dewantara, dalam filosofi pendidikannya, menghargai semua posisi. Di depan, memberi teladan. Di tengah, menciptakan prakarsa dan ide. Dan, di belakang memberikan dorongan (Tutuwury handayani).
Kebetulan Bungku ada di balakang, maka otomatis menjadi pendorong.
Mendorong untuk kemajuan Sulawesi Tengah, bahkan Indonesia. Faktanya, memang mulai terlihat. Tapi perlu diingat, setelah mendorong, Bungku tidak boleh tertinggal. Sebab, bila itu yang terjadi, dia akan tetap di belakang. Janganlah. (***)