Pembangunan itu, kata para ahli, harus ditujukan pertama, untuk menjawab kebutuhan masyarakat (response to community need). Kedua, pembangunan harus peka kepada bencana dan konflik (on sensitive of disaster and social conflict). Bila dua hal ini tidak hadir, sesungguhnya kita tidak sedang membangun.
Untuk Sulawesi Tangah, harus lebih peka lagi, Karena kita telah mengalami kedua duanya (Bencana Palu dan Konflik Poso) yang eskalasinya mendunia dan dampaknya belum berkesudahan hingga kini.
Dari aspek geogarafis, Sulawesi Tengah dan khususnya Buol memiliki komposisi dominan kawasan berbukit (montagneus). Juga, dominan curah hujan di atas 2000 mm per tahun. Kawasan ini bersentuh dengan ancaman tektonik yang menyebar. Ketiga fenomena alam ini punya konfergensi bencana dengan mortalitas yang tinggi. Satu – satunya, elemen mitigatif alamiah yang dapat menstabilkan kawasan hanya luasan hutan.
Salah menetapkan kebijakan di sektor ini, bencana antropik (kelalaian manusia) dan alamiah (climasique = natural) pastilah dahsyat.
Pada sisi yang lain, Prof. Scott Cambel memandang pembangunan sebagai upaya untuk mengharmoniskan tiga sudut segi tiga. Sudut pertumbuhan, ekologi dan keadilan. Sementara itu, Coffi Annan, sebelum lengser dari jabatan Sekjen PBB, pula pernah menasehati tiga hal. Dia bilang, “no development if no security”. Dia lalu membaliknya, “no security if no development”. Kemudian, dia menggabungkannya, “no both of them if no democracy”. Tapi, saya merasa perlu ditambahkan, “no democracy if no welfare. And, no welfare if no justice”
Bertolak dari kesadaran ini, baharu kita bedah rencana pembangunan satu kawasan. Bagi saya, urusan tata kelola hutan, lahan dan kepemilikan biarlah diuji secara hukum. Kabarnya sudah bergulir hingga ke Ombudsman dan KPK untuk urusan maladministrasi dan potensi kerugian negara. Kecuali kalau para pihak akhirnya menemukan solusi alternative non litigasi atau ADR (alternative dispute resolution). Kawan – kawan ahli hukumlah yang lebih faham.
Konsentrasi saya adalah pada rencana pelepasan izin kawasan hutan, ditinjau dari aspek lingkungan dan dampak ikutannya. Dengan indeks lindung yang rendah 0,53 (minimal 1.00). Patokan hitungannya adalah keharusan 30 % untuk kawasan lindung. Itu saja, indeksnya sudah demikian rendah. Bandingkan dengan negara yang telah mewajibkan kawasan lindungnya hingga 65 %, tentulah indeksnya menjadi tinggal 0.25 saja.