Contohnya lahan dalam Penlok di Kelurahan Duyu. Awalnya dalam Penlokbseluas 79hektar. Tapi dalam peta relokasi baru hanya tersisah seluas 38hektar. Kemudian di Kelurahan Tondo dan Talise Kecamatan Manantikulore. Awalnya Penlok seluas 481. Namun dalam peta relokasi baru hanya tersisah kurang lebih 146hektar.
Di dua kelurahan ini terdapat tiga titik lahan relokasi sebagaimana SK Penlok Gubernur Sulteng. Ditiga titik itu, tersisah masing-masing titik pertama seluas 36hektar, titik kedua seluas 91hektar dan titik ketiga seluas 19hektar. “Jika tiga titik itu digabung maka luas lahan yang tersisah hanya sekitar 146hektar dari yang awalnya dalam Penlok seluas 481hektar,”sebut Rizal.
Hal ini menurut Rizal membuat kacau balau upaya pemulihan bencana di Kota Palu. Sebab, terhadap lahan dalam SK Penlok Gubernur telah ditindaklanjuti dalam revisi peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Yang dilakukan bersamaan dengan revisi Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) serta Kajian Lingkungan Hidup Startegis (KLHS). “Upaya Pemkot terhadap relokasi korban bencana menjadi terhambat. Belum lagi sudah ada donatur yang terlanjur mulai membangun Huntap dilahan lahan tersebut,”katanya.
Ketersediaan lahan pemukiman di Kota Palu kini sangat terbatas. Sejauh ini Kota Palu hanya punya satu pusat pelayanan kota (PPK) di Kecamatan Palu Barat dan Palu Timur.
Seiring berjalan waktu menurut kajian konsultan RTRW kota palu sudah harus dikembangkan. Karena Palu Barat dan Timur sudah padat.
“Konsultan merujuk pada rencana Pemkot untuk kembangkan kawasan tanah terlantar di Kecamatan Mantikukore menjadi PPK baru. Dengan asumsi disana sesuai Penlok Gubernur tentang Huntap, maka di Kecamatan Mantikukore dan Tondo akan jadi 1 kawasan pemukiman baru,”jelasnya.
Pengurangan luas lahan Penlok oleh BPN Sulteng, tambah Rizal, kemungkinan besar sengaja dilakukan. Pasalnya kemudian Kepala Kanwil BPN Sulteng menerbitkan surat nomor 949 /72.MP.03.03/X/2019 prihal pengeluaran dari database tanah terindikasi terlantar yang ditujukan kepada Direktur Jenderal Penertiban, Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian ATR/BPN pada tanggal 24 Oktober 2019. Rizal menilai surat ini ditengarai akal-akalan Kanwil BPN Sulteng untuk tetap memberi akses pemilik HGB agar bisa memohonkan kembali atau memperpanjang HGB yang telah berakhir masa berlakunya. Dan memunculkan tafsir, bahwa para pemilik HGB hanya diminta secara sukarela melepaskan haknya.
“Padahal jelas-jelas Menteri ATR/BPN telah meminta BPN Sulteng agar tidak memperpanjang HGB yang habis kontrak dan melepas lahan yang masuk dalam Penlok,”papar Rizal.