Detik detik Perburuan Buaya Berkalung Ban yang Menegangkan

  • Whatsapp

BAK adegan film, perburuan buaya berkalung ban di muara Sungai Palu, menyajikan adegan thriler. Bergerak di malam pekat di muara Sungai Palu yang menjadi ”kandang” puluhan ekor buaya hanya bisa dilakukan oleh mereka yang bernyali. Dua orang terlatih, memilih mengabaikan ancaman bahaya di depan mata. Mereka, mengendap, mendekat hingga posisi nyaris tak berjarak dengan tombak siap menghunjam.

Laporan: Yardin Hasan – Muara Sungai Palu

Bacaan Lainnya

—–

JAM menunjukan pukul 18.00 wita. Panggilan azan magrib membahana memenuhi langit di atas muara Sungai Palu. Satu persatu warga yang menyemut di bekas Jembatan Ponulele menyaksikan aksi heroik penyelamatan buaya berkalung ban mulai meninggalkan kawasan itu. Hingga usai magrib, hanya belasan orang yang bertahan. Sebagian besarnya adalah jurnalis.

Di tempat yang agak terpisah, kerumunan petugas BKSDH dengan uniform bertuliskan ”Satgas Penyelamatan Satwa Liar” tampak berkerumun. Mereka berdiskusi serius. Dipimpin pakar reptil berkebangsaan Australia Matthew Nicholas Wright dan petugas dari BKSDH Sulteng serta Oktavianus Sene – dari Unit Penanganan Satwa Liar BKSDH Provinsi NTT, terus mematangkan eksekusi secara detail. Akhirnya disepakati eksekusi dilakukan pukul 02.00 dinihari – saat suasana senyap. Di saat tim bisa lebih fokus dan keriuhan warga bisa dihindari.

BENGKOK – Matt memegang mata tombak – harpun yang bengkok, tidak mampu menembus kulit buaya. Foto: KIA/PE

Bersamaan dengan kumandang azan magrib, riak arus Sungai Palu berpendar oleh pantulan cahaya bohlam dari perumahan warga di sepanjang sungai. Kerumunan di muara pun mulai berkurang. Dengan gerakan yang tidak mencolok, tim kemudian berbagi tugas, memantau keberadaan buaya yang terjerat ban motor tersebut. Pemantauan dilakukan di kedua sisi sungai. Sejam kemudian, posisi target akhirnya diketahui. Buaya terpantau berendam di sekitar muara. Melihat target yang tampak asik menikmati pertemuan arus sungai dan arus laut, Matt dan timnya makin yakin, eksekusi harus dilakukan pukul 02.00. Tidak boleh meleset.

Selama masa penantian menuju waktu eksekusi, kawasan yang selama seminggu terakhir, ramai dipadati warga yang ingin menyaksikan aksi Matt dan kawan-kawan dibuat harus ”steril”. Tidak boleh ada kilatan lampu yang menyolok. Kilatan cahaya hanya boleh jika berasal dari tim yang mengecek posisi target yang sedang berdiam sekitar 80 meter dari arah pengintaian.

Belasan wartawan tampak mengurangi mengurangi cahaya smartphone. ”Cahaya hape jangan terlalu mencolok,” ujar Rahman kontributor Net TV mengingatkan koleganya. Jika berbicara suara harus dipelankan. Seketika kawasan bekas Kampung Kaili itu mendadak senyap. Hanya tampak siluet orang-orang berseliweran di malam pekat, dengan suara yang dibuat pelan. Dentingan gelas kopi yang bersenggolan sesekali terdengar memecah sunyi malam di muara Sungai Palu itu. Sesekali terdengar pula suara knalpot membahana memekakkan telinga.

*
Lima belas menit menuju pukul 02.00, Matt Wright dan timnya tampak mulai bersiap. Perahu karet milik Polair Sulteng sudah diturunkan. Personel Polair dan BKSDH pun tampak siaga di atas reruntuhan bekas tsunami itu. Waktu terasa mengalir begitu lamban. Keinginan untuk menyaksikan aksi heroik Matt dan kawan kawan kian tak terbendung. Pada jarak yang tak terlalu jauh, wartawan pun siap dengan ”senjatanya” masing masing. Abullah K Mari – wartawan TV One, sudah memasang kokoh tripotnya siap mengabadikan momentum di malam dingin itu. Fotografer Joshua Marunduh pun kalah sigap. Ia terus mengarahkan lensa telenya kearah sasaran yang berjarak 80-an meter itu.

Tepat pukul 02.00 waktu yang ditentukan, Matt dan timnya belum beranjak. Namun kilatan headlamp (lampu kepala) terlihat lebih sering dari sebelumnya. Bergantian menyorot sasaran yang tampak asik menikmati dorongan arus air yang menerpa tubuhnya. Pukul 20.05 tim belum juga beranjak. Namun peralatan sudah teronggok di dekat Matt. Diskusi diskusi kecil masih terus dilakukan. Melalui Rino penerjemah dari BKSDH Sulteng, Matt yang sudah berpengalaman menaklukan 2.000 ekor lebih buaya terus memberikan arahah.

Pukul 02.10, momen itu pun tiba. Hanya dua orang terbaik yang mendapat tugas melakukan aksi menuju target, Matt Wright dan Octovianus Sene -alias Octo. Octo pria murah senyum ini dipercaya menemani Matt menuju sasaran. Ia pegawai di BKSDH Nusa Tenggara Timur, banyak bergelut dengan satwa liar termasuk hewan Crocodylus porosus ini.

Matt dan Octo dengan senter kepala yang terus menyala serta tombak yang siap menghunjam berjalan mengendap menuju sasaran. Butuh 120 detik untuk benar benar tiba pada posisi yang nyaris tak berjarak dengan sasaran.

Momen itu pun tiba.

Wushh…!! tombak harpun milik Octo menghunjam buaya ban. Seketika buaya bereaksi. Sekedipan mata, langsung berbalik menuju Teluk Palu.

Wushh….tombak kedua milik Matt menembus tubuh buaya. Peristiwa berlangsung sangat cepat. Tak banyak momen yang bisa dipandang dari jarak 80-an meter di malam buta dan hanya dibantu dengan penerangan senter. Sekilas terlihat, buaya berenang cepat menuju Teluk Palu.

Usai menancapkan harpun ke tubuh sasaran, Matt berbalik arah menuju tempatnya semula. Saat bersamaan terdengar komando untuk menurunkan perahu ke laut. Matt yang muncul dengan bermandi peluh mengumbar senyum gembira. Ia mengambil beberapa peralatan lalu balik menuju perahu karet. Ia sempat mengucapkan beberapa patah kata ke wartawan. Saya celingkukan mencari kawan yang bisa mentranslasi perkataan Matt tadi. ”Dia bilang harpun berhasil menancap di tubuh buaya. Dan itu pertanda baik,” ungkap kawan baik hati yang memberi terjemahan gratis.

Di Teluk Palu, terjadi aksi kejar-kejaran antara tim dengan buaya. Tim menandai buaya dari pelampung yang tersambung dengan tali yang menempel di tubuh buaya. Energi buaya memang luarbiasa. Walau terus dikejar, buaya selalu bisa mengelabui Matt dan timnya. Bolak balik – aksi kejar-kejaran terus terjadi. Matt dan dan kawan kawannya, bahkan digiring hingga di depan reruntuhan Anjungan Nusantara. Setelah itu balik lagi, terus berputar hingga mendekati bibir pantai di dekat bekas wahana bermain anak – tempat batu prasasti Palu Nomoni berada.

Lalu tim balik lagi. Saat itulah tim kehilangan jejak buruan. Terlihat Matt dan timnya mengarahkan senternya 360 deratat. Hasilnya nihil. Seketika, buaya terpantau tepat di muara. Kepala Seksi Konservasi Wilayah (SKW) I BKSDH Sulteng, Haruna yang melihat sang buruan langsung mengontak tim di perahu karet. Dengan kecepatan yang terukur, Matt dan kawan kawan langsung menuju sasaran. Betul. Buaya buruan sedang menghadap ke arah sungai. Matt dan timnya terlihat sempat melemparkan tombak harpun. Namun tidak diketahui seperti apa hasilnya.

Di darat, wartawan dan tim BKSDH Sulteng serta Polair juga dibuat sibuk. Di malam berbekal senter hape, terus menuntik perahu karet yang berjarak 100-an meter. Beberapa orang sempat terperosok, karena pijakan yang licin.

Wartawan dan tim pemantau di darat berhenti mengikuti arah perahu karet, setelah Matt dan timnya kehilangan jejak. Pelampung yang menguntit tubuh buaya lepas. Reptil bertubuh besar ini sempat berputar putar di depan bekas Anjungan Nusantara, di sana ada pukat milik nelayan yang rusak. Pelampung tersangkut dipukat dan putus. Sejak itu, jejak sang buruan tak lagi bisa diidentifikasi. Ini adalah buaya penampakan terakhir di malam perburuan itu.

Saat jarum jam menunjukan pukul 03.40, Matt turun dari perahu karet. Selanjutnya Matt menuju delta, di bekas kaki Jembatan Ponulele berdiri. Matt dan Okto, terlihat seperti sedang mencari jejak buaya. Ternyata bukan. Sebagai pakar reptil dengan pengalaman menangkap buaya di berbagai medan, Matt sedang menyiapkan rencana eksekusi berikutnya.

Pukul 04.00 dengan tubuh basah kuyup Matt Wright tetap menggelar keterangan pers. Bahkan ia sendiri yang berinisiatif memanggil wartawan. Ia menjelaskan kronologi penangkapan, fungsi harpun serta mengapa target lepas setelah ia dan timnya yakin, buruan bakal tak lepas lagi. ”Kami sudah sangat dekat” ungkap Matt kepada wartawan. Dekat secara fisik juga dekat dengan kesuksesan. Sayang keberuntungan belum berpihak. Tadi kita ganti lagi cara lain,” katanya sambil terus mengumbar senyum.

Matt mengatakan, ia dan rekannya Okto memasang jerat di delta – bekas kaki Jembatan Ponulele. Ia sengaja memasang jerat di delta, karena wilayah itu adalah teritori kekuasaan buaya berkalung ban. Sedangkan buaya lainnya tidak boleh mendekat. ”Kami tidak jenuh. Mulai dari awal lagi, hingga misi pembebasan berhasil,” katanya sambil pamit kepada wartawan. Pagi harinya, Ahad 16 Februari 2020, Matt tampak sudah berada di muara Sungai Palu. Seperti yang dikatakannya pada malam harinya di depan jurnalis. Terus mencoba cara lain, dari nol lagi. Tak boleh menyerah *

Pos terkait