Oleh Muhd Nur Sangadji
Semalam, saya membaca sebuah cuitan. Tidak tahu siapa yang menulis karena tidak mencantumkan identitas. Dia mengurai posisi pentingnya PNS yang sekarang disebut ASN. Mereka adalah kelompok abdi negara yang perannya sangat luar biasa.
Bahwa mereka dianggap malas. Makan gaji buta karena kerja tanpa prestasi. Dan, selalu menunggu naik gaji di ujung tahun. Berharap THR. Itu, sudah lama kita dengar. Tapi, yang ini benar benar beda. Dia mengurai sisi lain dari ASN yang sangat positif bagi negara dan masyarakat. Dia tutup dengan kalimat, “agar berhentilah kamu membenci ASN”.
Sebetulnya, sudah lama sekali, saya juga berfikir begitu. Cuma karena saya adalah ASN dalam kelompok ilmuan, ikut membumikannya, bisa dituduh “vested interest “.
VESTED INTEREST
Sewaktu kuliah di IPB, saya punya dosen pengajar mata kuliah peubah ganda. Kawan-kawan bilang dalam kelakarnya. Cucunya mata kuliah ini adalah matematika. Anaknya bernama statistik.
Dosennya memang hebat. Mengajar tidak pernah bawa buku. Habis mengajar, diberikan kesempatan bertanya. Tidak satupun mahasiswa berani bertanya. Karena, kami tidak mengetahui apa yang kami tidak tahu. Pak Suhardi, sang dosen ini bilang. Metoda penelitian itu tidak harus statistik. Tapi, anda boleh bilang begitu, bukan karena anda tidak mengerti statistik. Saya terperanjat. Inilah maksudnya “vested interest” itu.
Di Universitas Tadulako, karib saya Prof. Ramadanil Pitopang pernah berujar. Beliau ini, satu satunya dosen Tadulako yang masuk dalam urutan 50 an dari 275 an ilmuan Indonesia berpestasi (ranking of scientist Indonesia). Ketika beliau dipuji oleh koleganya. Dengan rendah hati, beliau berkata. Kualitas seorang ilmuan tidak boleh hanya diukur dari index citasi atau publikasi yang tembus jurnal scopus. Beliau menyadari, ilmu itu lahir dari laboratorium (alam maupun buatan). Jurnal hanyalah penyebarannya. Hak intelektual adalah bunganya. Teknologi adalah buahnya. Implementasi, terserap industri atau masyarakat, adalah tujuan akhirnya.
Tanpa yang terakhir ini, riset hanyalah untuk riset. Tidak berguna. Cuma jadi kebanggaan penelitinya saja. Demikianlah sindiran Presiden Joko Widodo kepada Menteri Riset. Banyak budget untuk biaya riset. Tapi, manfaatnya bagi bangsa tidak terlihat. Sementara, satu dari tiga syarat pembangunan yang baik itu adalah riset (development base on reseach). Dua lagi adalah “respon to community need” dan “sensitive of disaster and conflic”.