Menanti “Imamun ‘Adilun” pada Pilkada Serentak 2020

  • Whatsapp
Politik Uang Dalam Perspektif Islam, Sebuah Kontribusi Menciptakan Pemilu Berintegritas

Oleh Muhtadin Dg. Mustafa***

BAGIAN 1

Bacaan Lainnya

Akumulasi kehendak masyarakat dalam sebuah negara besar menghendaki adanya proses demokrasi sebagai pilar utamanya. Indonesia sebagai negara demokrasi yang diakui dunia menjadikan pemilu atau pilkada sebagai salah satu pilar utama untuk mengakomodir dan menyalurkan hajat dan kedaulatan masyarakat untuk melahirkan sebuah kekeuasaan yang berdaulat dan sosok pemimpin yang adil dan bijaksana. Untuk mencapai maksud tersebut maka pemilu tidak hanya bertujuan mengakomodir dan menyalurkan hajat masyarakat tetapi sekaligus merupakan prosedur dan proses demokrasi untuk memilih pemimpin. Hal ini karena pemilu adalah mekanisme pergantian kekuasaan dan suksesi yang paling aman saat ini, bila dibandingkan dengan cara-cara lain. Tujuan pemilu menjadi hal yang sangat urgen dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia karena pemilu tidak hanya soal pergantian kepemimpinan yang harus berhalangsung tepat waktu tetapi pemilu juga merupakan instrumen penentu arah kebijakan publik dan keberlangsungan hidup sebuah Negara. Dalam konteks ini maka pemiilu atau pilkada yang akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang menjadi momentum yang sangat tepat untuk menentukan keberlangsungan demokrasi dan kebijakan di timgkat lokal atau sebuah daerah.

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan salah satu pengejewantahan kedaulatan rakyat, karena melalui Pilkada rakyat ikut menentukan siapa yang terbaik bagi mereka untuk menjadi pemimpin ke depan di daerah ini. Pemilu atau pilkada lahir sebagai sebuah kreasi manusia dalam peradaban perpolitikan modern. Karena itu sejarah politik Islam tidak mengenal pemilu. Namun, sebagain besar ulama berpendapat bahwa Pemilu tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan mensukseskan pelaksanaan pemilu atau pilkada itu wajib hukumnya (karena pemimpin itu hukumnya wajib). Sistem ini sebagai sebuah kreasi manusia moderen yang sangat sejalan dengan semangat ajaran Islam, yakni tentang konsep as-Syura atau musyawarah sebagaimana kita temukan dalam beberapa ayat al-Quran.

Al-Quran tidak memberikan suatu pola teori negara atau sistem politik yang pasti harus diikuti oleh umat Islam. Hal ini disebabkan oleh dua hal, pertama,  al-Quran pada prinsipnya merupakan petunjuk etika bagi umat manusia, ia bukan kitab ilmu politik. Namun dalam al-Quran sangat menekankan pentingnya moral etik dalam bernegara dan berpolitik. Kedua, institusi-institusi sosial-politik dan organisasi manusia senantiasa berubah dari masa ke masa. Dengan kata lain bahwa al-Quran memberikan jaminan bagi manusia untuk mencari sistem yang paling tepat (Ahmad Syafii Ma’arif, 1985).

Pos terkait