(Menerobos Tantangan)
Oleh Muhd Nur Sangadji (muhdrezas@yahoo.com)
BAGIAN 3.
Lobsters ukuran kecil, sedang dan besar ada di piring yang sama. Satu yang sedang, telah dimakan tuan rumah, kepala Bappeda. Tersisa dua. Satu yang kecil, diambil pak Sekda. Tinggal yang paling besar. Saya ditantang mengambilnya. Gugup dan kuatir bercampur. Sebabnya cuma satu, kolesterol. Karena itu, saya tetap ambil tapi makan sedikit. Lalu, berikan ke mahasiswa.
Itu, satu dari komoditas biota laut, kekayaan pulau Taliabu. Ada berjenis ikan, rumput laut dan tentu saja, masih banyak yang lain. Di daratan ada perkebunan cengkih, kelapa, pala, jumbu mete dan coklat. Tumbuh di seantero pulau. Di dalam tanah ada barang tambang yang belum diekplorasi optimal. “Out let” komersialnya ada di dua provinsi untuk dua daerah, luwuk dan Bau bau atau Kendari. Bukan Ternate sebab terlalu jauh.
Tapi, armada transportasenya relatif tua. Khabarnya kecelakaan sudah sangat sering. Kepastian waktu tiba berangkat pun masih bermasalah (uncertainty). Kunjungan saya yang pertama ini membuktikan. Kapal yang saya tumpangi dari Luwuk sudah cukup mengkuatirkan. Pagarnya berkarat dan keropos. Namun, mahasiswa bilang, itu masih lebih bagus. Kata mereka, ada yang kamarnya sempit dan ditemani banyak kecoa. Tapi, saya tetap tegar dalam prinsip, “this traveling is my adventures”.
Memastikan jadwal kapal cukup sulit. Penantian yang paling menggelisahkan. Saya menunggu kapal dari hari Rabu. Khabarnya ada, padahal tidak. Jadwalnya ternyata hari Kamis. Menanti sejak sore. Sampai Jam 22.00 lewat belum ada kepastian. Infonya, kapal merapat sebanyak 6 kali dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya hingga tiba di Taliabu. Saya gelisah berat karena tiket pesawat sudah dibeli. Dan, agenda ceramah dengan kementerian perempuan di Palu sudah terjadwal. Untung, isteriku bisa menggantikan.
Ini tantangan real. Bagaimana kita bisa mengajak orang ke Taliabu kalau kualitas transportasinya masih rendah. Untuk kepentingan apa orang mengunjungi kita dengan kesulitan perjalanan yang mereka hadapi ?
Semuanya harus kita urai jawabannya secara sistimatis. Peta jalannya (road map) mesti di buat. Agar kita tahu kemana kita pergi. Bagaimana caranya ? Dan, kapan tibanya ? Pastilah, tujuh tahun terlalu singkat untuk bikin semua. Sebab, ini bukan perkaranya jin. “sim salabim, aba khadabra “. Bereslah semua. Akan tetapi, tujuh tahun itu adalah waktu yang terlalu lama untuk tidak bikin apa- apa. Minimal peletakan tapak untuk dituju.