(Save Taliabu)
Oleh Muhd Nur Sangadji (muhdrezas@yahoo.com)
BAGIAN 5
Kapal kota Taratai perlahan merapat ke pelabuhan Luwuk. Jam telah menunjukan pukul 09.20 pagi. Artinya, pesawat yang saya tumpangi ke Palu mungkin sudah berangkat. Jadwalnya, jam 08.40. Keputusan harus diambil. Menginap lagi satu malam. Banyak tawaran mendarat dengan mobil. Tapi, diumur lebih setengah abad ini, terlalu beresiko.
Penginapan terdekat adalah hotel kota. Sudah sering di sini bersama kawan kawan dosen Tadulako. Lepas shalat jumat, kami bergegas menuju Maahas. Di sana ada ikan segar katombo (Luwuk = kadompe). Saya minta dibuatkan papeda (Luwuk = onyop). Dalam sekejap, onyop satu loyang besar tuntas disedot. Itu, karena mitra tanding saya, Alvian dan Ismet berkultur kuliner serupa dengan saya. Pemakan sagu. Persaingan sangat ketat. Nasi hampir tidak disentuh. Kami pantas menjadi promotor program “one day no rice” untuk pangan lokal.
Malamnya saya dijadwalkan sebagai narasumber webiner tentang nilai-nilai kebangsaan. Palaksananya dari kelompk pemuda penggerak idiologi Bangsa Indonesia. Kegiatannya berpusat di Palu, tapi saya bicara dari Luwuk. Dimungkinkan, karena “on line”. Beda dengan jadwal materi saya tadi siang yang sifatnya “off line”. Di lakukan di hotel Swissbell Palu. Saya tidak mungkin hadir. Untung peran itu dapat disubtitusi oleh isteri sendiri.
Antrian panjang di bandara Luwuk. Pemeriksaan dokumen rapid test. Perjalanan udara di era ini sedikit repot. Akhirnya dengan Batik Air, terbang menuju Palu via Makassar. Di dalam pesawat, tulisan bahagian ke 5 ini saya lanjutkan. Sedikit lagi pesawat mendarat di bandara international Hasanuddin di Maros. Hampir satu tahun saya tidak injak bandara ini.
Di bandara Hasanuddin, tidak ada waktu untuk amati. Kami adalah penumpang terakhir yang ditunggu. Pesawat Luwuk- Makassar agak terlambat. Saya sempat nengok sekeliling. Kondisi secara umum mulai normal. Hilir mudik manusia nampak barjubel kembali. Di peswat pun kursi relatif penuh. Tentu, tetap dengan prosedur covid 19.
Saya lanjut menulis dengan target mendarat di Palu, tulisan ini sudah berakhir. Saya menghitung hari. Hari ini, Sabtu tanggal 29 Agustus 2020. Tinggalkan Palu, 25 Augustus. Itu berarti, relatif ada lima hari perjalanan. Singkat, tapi terasa lama sekali. Mungkin karena jebakan psikologis tentang kepastian tiba berangkat. Dua kali gagal, di laut dan udara.