Oleh Muhd Nur Sangadji
Ketika berderet pepohonan dirobohkan di kampus ku, Saya turut berkeberatan keras. Tapi, kami kalah. Keberatan karena tidak mudah kami yang menanamnya. Hampir tidak ada di dunia ini, mahasiswa pergi ke kampus dengan membawa cerigen berisi air. Kecuali mahasiswa Tadulako. Tujuannya untuk menyiram tanaman. Kala itu, tahun 1984 an. Di kiri kanan, yang ada cuma dominasi tumbuhan kaktus (opuntia monacantha).
Itu, karena negeri ini gersang, berkategori terkering dan terpanas di Indonesia, selain Kupang NTT. Lebih berbahaya, karena topografinya berbentuk lembah. Bayangkan, habitat manusia di sebuah lembah dengan curah hujan rendah dan dengan sinar matahari atau temperatur tinggi. Ditambah akumulasi karbon monoksida dari kenderaan bermotor yang terus berduplikasi jumlahnya. Kita sedang hidup di bejana beracun. Sayang kepekaan tidak hadir.
Kali yang lain, saya menemukan sekelompok pekerja menggali satu pohon untuk ditumbangkan. Pohonnya cukup besar dan berbunga indah kemerahan. Tidak banyak pohon jenis ini ada di Palu. Boleh dikategorikan langka.
Orang yang menyuruh tebang adalah pemilik rumah. Saya datangi pemiliknya dan bertanya. Tanah tempat pohon ini tumbuh, milik siapa ? Apakah beliau yang menanam pohon ini ? Kedua pertanyaan itu, dijawab “tidak”. Maka, saya minta dihentikan. Syukurlah mereka patuhi. Tapi, beberapa minggu kemudian, pohon itu kering dan mati. Dugaan saya, dasuntik atau disiram herbisida.
***
Pagi itu, tanggal 10 Oktober 2020, Saya menemukan di Jalan Kartini Palu. Berderet pohon penghijauan yang ditanam dengan susah payah puluhan tahun lalu. Habis dalam hitungan jam. Ada yang bilang untuk drainase. Ada pula dengan alasan pelebaran jalan. Juga, untuk penerangan.
Dapat kabar, masih ada ruas Jalan lain yang jadi korban berikutnya.Sebelumnya, banyak pohon rindang dan kokoh lainnya sudah ditumbangkan oleh aksi ini. Jalan Setia Budi dan Jalan Tamrin sebagai contoh. Juga, di samping Universitas Tadulako.
Kita biarkan orang menebang pohon seenak maunya. Padahal, kita punya Perda untuk mencegahnya. Lantas, sekarang, yang melanggar adalah yang membuat Perda itu sendiri. Ironik.