Sektor KP Butuh Figur yang Paham dan Mampu Tata Kelola

  • Whatsapp
Hasanuddin Atjo

Oleh Hasanuddin Atjo

Akhir November 2020, menjadi hari hari “kelabu” bagi dunia Kelautan dan Perikanan. Pasalnya, Menteri KP, Edy Prabowo, baru menjabat satu tahun terjaring OTT, oleh KPK, setibanya di Bandara Soekarno Hatta dari kunjungan kerjanya ke Hawai, Amerika Serikat. Kunker ini juga terkait upaya memproduksi induk udang vaname dalam negeri yang selama ini diimpor dari Hawai dan Florida.

Bacaan Lainnya

Regulasi ekspor benih lobster jadi latar belakang OTT. Dan kemudian menjadi pemberitaan hangat serta topik diskusi menarik pada hampir semua ruang publik. Mulai media cetak, ekektronik, hingga diskusi lepas di sejumlah cafe dan warkop di tanah air.
Sejumlah pertanyaan mengemuka antara lain, apakah potensi SDA KP sangat sangat menjanjikan, hingga menterinya terseret oleh masalah hukum, hanya karena mencabut Permen KP No 56/2016 tentang larangan ekspor benih lobster.
Pertanyaan menarik lainnya figur seperti apa yang pas untuk sektor ini yang dinilai sangat potensial serta sudah berapa kali berganti menteri dengan latar belakang yang berbeda. Dua pertanyaan ini akan diulas secara singkat untuk informasi.
Data BPS di tahun 2015, memberi informasi bahwa potensi Maritim Indonesia bisa mencapai US$ 1,33 triliun, atau sekitar 18.620 triliun rupiah (kurs Rp 14.000) dan dapat melampaui PDB Indonesia, di 2019 yaitu US$ 1,00 triliun atau setara dengan 14.000 triliun rupiah.
Kontribusi sektor KP atas potensi ekonomi Maritim diprediksi sebesar 48 % atau setara US$ 638 milyar atau 8.932 triliun rupiah per tahun apabila mampu dikelola secara terencana, cara-cara maju dengan prinsip berkerlanjutan.
Perikanan Budidaya diperkirakan mampu berkontribusi 33,3 % atau setara US$ 210 milyar atau 2.206 triliun rupiah melebihi kontribusi Perikanan tangkap yang hanya 2,08 % , setara US$ 13,12 milyar. atau 137,8 triliun rupiah.
Bioteknologi kelautan tidak sedikit potensinya yaitu sebesar 30%. Pengelolaan Pulau Pulau kecil mencapai 18 %, Industri prosesing Perikanan 14% serta Pemanfaatan mangrove hanya lebih kurang 2%.
Informasi ini memberi gambaran bahwa sesungguhnya sektor KP memiliki potensi yang sangat besar, bisa menjadi salah satu lokomotif ekonomi negeri ini. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah kemampuan tata kelola yang pas.
Pada era menteri Susi, Perikanan Tangkap dan konservasi menjadi fokus selama lima tahun. hingga menteri ini populer dengan kata “tenggelamkan”, karena paling gemar menenggelamkan kapal ikan asing yang tertangkap dan sudah inkra melalui sebuah prosesi yang sengaja di publish. Mungkin ingin membangun efek jera.
Dari sisi konservasi menteri Susi melalui permen KP nomor 56 tahun 2016 melarang untuk ekspor benih lobster, penangkapan kepiting, lobster, dan rajungan pada ukuran tertentu. Selain itu juga melarang menggunakan alat tangkap ikan cantrang yang dinilai tidak ramah lingkungan.
Tujuan dari konservasi itu adalah menjamin ketersedian stock ikan di laut agar nelayan bisa berpeluang memperoleh ikan lebih banyak, namun kebijakan itu dinilai, tidak signifikan dikarenakan industri Pengolahan Ikan banyak yang tutup, karena kekurangan bahan baku.
Kebijakan yang dibuat menteri Susi akhirnya berdampak atas buntunya komunikasi dengan para pelaku usaha perikanan termasuk nelayan. Demikian pula halnya dengan para kepala daerah yang notabenenya memiliki kewenangan pengelolaan perairan sampai 12 mil laut serta memiliki masyarakat perikanan.
Karena itu sejumlah pesan Presiden Jokowi kepada menteri Edy sesaat setelah dilantik bahwa tingkatkan komunikasi dengan masyarakat nelayan dan pembudidaya . Selain itu dalam RPJMN 2020-2024 ada tiga major project di sektor KP yaitu Kembangkan Perikanan Budidaya; Optimalkan nilai tambah perikanan tangkap dan; Bangun kelembagaan nelayan dan pembudidaya dalam bentuk Koorporasi.
Kebijakan menteri Edy mendorong, memprioritaskan pengembangan budidaya perikanan menjadi salah satu lokomotif ekonomi dipandang sejumlah kalangan sudah pas. Dan ini akan memberikan kesempatan pada 3 juta nelayan yang selama ini hanya bergantung pada potensi perikanan tangkap yang potensi ekonominya bagi sektor KP hanya sekitar 2,08%.
Beberapa program KKP era Menteri Edy dinilai relevan dengan potensi sumberdaya antara lain : Pertama, akan meningkatkan produksi dan nilai dari komoditas udang sebesar 250 % yaitu dari 517.397 ton di 2019 menjadi 1.290.000 ton di 2024, meningkat sebesar 772.608 ton. Dari sisi nilai akan meningkat dari US$ 2,59 milyar menjadi US$ 6,46 milyar. Ini juga menjadi tujuan menteri Edy ke Hawai menjajaki kerjasama produksi induk Vaname.
Kedua, mencabut Permen KP nomor 56 tahun 2016 tentang larangan ekspor benih lobster dan lobster kurang dari 200 gram. Pencabutan ini sesungguhnya bertujuan untuk membuka kesempatan nelayan penangkap benih lobster secara legal daripada ilegal kemudian diselundupkan. Selain itu alasan akademik mengemukakan bahwa di alam hanya 1 persen yang lolos menjadi dewasa, sehingga harus diambil dengan cara cara yang terkendali.
Para pemegang mandat ekspor benih, diwajibkan bermitra dengan masyarakat, mengembangkan budidaya lobster karena nilainya bisa mencapai jutaan rupiah per ekor. Selain itu belum ada satupun negara yang mampu membenihkan lobster secara komersial, sehingga benih ini sangat dicari. Indonesia merupakan salah satu penghasil benih lobster terbesar.
Sayangnya pemegang mandat ekspor tidak lagi konsisten dengan kewajiban mengembangkan usaha budidaya, mungkin fokus dengan urusan ekspor. Dan kemudian yang menjadi kesalahan besar sehingga menteri Edy terpental dari kursi menteri karena adanya monopoli jasa pengiriman benih ekspor melalui satu pintu. Mungkin saja menteri Edy menjadi korban dari sejumlah pembantunya. Kejadian ini sangat disesalkan, dan semoga sebagai pembelajaran.
Kemampuan tata kelola menjadi kunci sukses sebuah Kementrian/lembaga atas tugas dan fungsinya. Mulai dari tingkat pusat sampai ke daerah. Kemampuan menyusun narasi yang benar dan keberanian mengeksekusi secara konsisten menjadi tuntutan seorang figur dalam menerapkan tata kelola.
Dalam konteks ini bahwa menteri Susi dinilai kurang dalam narasi, antara lain tidak komprehensif dalam perencanaan, tetapi sangat kuat dalam eksekusi. Kurang gunakan data potensi ekonomi sumberdaya Perikanan, namun ada konsistensi dalam menerapkan program dan kegiatan
Sementara itu menteri Edy dinilai kuat dalam narasi, namun kurang dalam eksekusi. Menteri Edy dalam merancang narasi pengembangan Kelautan dan Perikanan berbasis data potensi ekonomi sektor KP seperti diungkap BPS 2015. Dan diperkuat mau menerima masukan dari sejumlah orang berkompeten. Mungkin karena berasal dari latar belakang politik.
Karena itu sektor Kelautan dan Perikanan membutuhkan figur yang paham, mampu merancang narasi, dan memiliki keberanian melakukan eksekusi dengan cara maju dan benar. Dibutuhkan figur memiliki latar belakang politik, entepreuner, birokrasi, akademik, dan soft skill yang mumpuni. Ini Ideal, tetapi setidaknya figur mau membangun komunikasi dan memiliki soft skill yang baik.
Tentunya mendapatkan figur-figur seperti kriteria itu bukan perkara mudah. Dan yang terpenting figur yang terpilih mampu mencapai tujuan dengan menerapkan filosofi “Menarik Benang di Atas Tepung”. Harapan kita, kiranya Presiden Joko Widodo bisa mendapatkan figur sesuai harapan. .SEMOGA.

Pos terkait