Kualitas pelayanan sehebat ini pernah mendapat interupsi melaui bencana di kota Kobe pada tahun 1995. Bencana yang memunculkan kesadaran partisipasi publik dengan lahirnya komunitas NPO (non profit organisation). Kesadaran rakyat Jepang bahwa segala sesuatunya tidak boleh hanya diserahkan kepada pemerintah. Artinya, meskipun kesadaran partisipasi publik tumbuh. Namun, tidak mengendorkan spirit pengabdian dan kerja profesional dari pemerintah.
Di kota Melbourne Australia, saya juga pernah mengamati bagaimana sebuah kota itu bekerja. Ada titik pertemuan (rendez vous) di pusat kota bernama “federation square”. Di sini kita bisa mendapatkan informasi tentang apa saja mengenai kota Melbourne.
Ada kantor “center of information” di bawah tanah yang menyediakan informasi dalam bentuk cetakan (brosur) dan digital. Setiap yang datang, bisa mengambil dan membawanya. Semua gratis. Sampai pulang ke Indonesia tahun 2008, saya membawa brosur ini hampir satu kopor. Itu, baru saya sendiri. Bagaimana dengan ribuan manusia yang masuk keluar kota ini dan membawa pergi berosur. Isinya, informasi tentang kota dan agendanya yang bahkan berdurasi sampai satu tahunan. Bagaimana juga dengan dana yang disiapkan untuk memproduksi semua ini.
Selain hal menakjub tersebut, masih ditambah pelayanan yang lain untuk tujuan informasi ini.
Di jalan raya, kita temukan sejumlah “volunteer” dengan pakaian khusus. Mereka melayani siapa saja yang ingin menanyakan informasi tentang kotanya. Ada juga bus gratis (sutle bus) yang keliling kota. Sangat mengesankan.
Demikianlah kota itu dibentuk. Kota bekerja untuk melayani warga dan siapa saja yang datang. Semoga satu saat kota-kota kita tumbuh menjadi kota yang informatif dan beradab sebagai identitasnya. Dan, ini hanya mungkin bila kita punya pemerintah kota yang cerdas, amanah dan berani. Serta, warga kota yang mandiri, patuh dan peduli. Entahlah. ***