Perang Saudara
Pemisahan kedua bangsa serumpun itu tidak mudah untuk diterima begitu saja oleh sebagian besar rakyat kedua korea, tetapi pada saat yang sama dipahami teramat sulit untuk disatukan kembali, mengingat basis idiologi yang ditinggalkan Soviet dan Amerikat sebagai bapak angkat kedua negara, berdiameter terbalik. Upaya persuasif untuk memenuhi kerinduan rakyat korea untuk bersatu kembali, selalu menemui jalan buntu. Di tengah keputusasaan Korea Utara mencoba melakukan upaya paksa penyatuan dua korea. Pada tanggal 25 Juli 1950 tentara Korea Utara melintasi garis batas dan menyerbu Korea Selatan tanpa didahului pengumuman perang. Mimpi Korea Utara menyatukan kedua korea melalui perang, berbuntut panjang dan berujung petaka bagi kedua Korea. Menyadari posisi terdesak Korea Selatan meminta bantuan PBB, Amerika merespon cepat. Sudah jamak orang mengetahui Amerika selalu berada di balik resolusi PBB bila kepentingannya terganggu, bukan hanya ingin menunjukan perannya sebagai “polisi dunia” tetapi sekaligus menjaga kedaulatan Korea Selatan sebagai mantan anak angkatnya, sembari mengumbar arogansi dan menjadikan medan perang sebagai ajang promosi keperkasaan persenjataan di mata dunia.
Cina menyadari gelagat Amerika ingin menguasi Korea termasuk Korea Utara, dengan dalil melaksanakan resolusi PBB, akhirnya memutuskan mengirim pasukanya sebanyak 780.000 orang. Pengerahan pasukan Cina sebanyak itu, sudah hampir bisa dipastikan untuk melindungi kepentingannya yang ditinggalkan sebelumnya di Korea Utara. Perangpun berubah, antara Cina dan Pasukan Amerika di bawah bendera PBB, dan akhirnya tentara PBB tergusur ke selatan. Kondisi di semenanjung Korea kian mendidih dan tidak menentu, jutaan manusia dari kedua belah pihak terutama dari rakyat korea menjadi korban sia-sia. Tercatat perang Korea merupakan perang yang paling banyak menelan korban setelah perang dunia II.
Perang korea yang paling mematikan itu, menyisihkan luka dalam yang mengangah antara kedua korea, jalan terjal dan berliku untuk menyatukan dua korea semakin kasat mata. Sungguh tidak mudah menyatukan kembali semangat kebangsaan kedua korea di tengah luka perang saudara dan basis idiologi yang sudah terlanjur berbeda. Korea benar benar menjadi korban perseturuan kepentingan bangsa bangsa besar yang memposisikan diri sebagai “mentor” dengan membangun narasi dan diksi untuk melindungi, sembari membawa agenda tersebunyi di baliknya. Akhirnya sejarah mencatat pada 27 Juli 1953, ditandatangani Persetujuan P’anmunjom yang menegaskan adanya dua korea seperti yang kita kenal sekarang. Perang korea yang diimpikan Korea Utara sebagai upaya untuk menyatukan kedua korea, justru hanya mempertegas pemisahanya.