Transaksi Ekonomi Syariah (Serius atau Hanya Basa-basi..?)

  • Whatsapp
Muh. Nur sangadji

Oleh Muhd Nur SANGADJI

Di paruh akhir bulan Juli 2021 ini, saya dihubungi karib di BI Sulawesi Tengah, Andi Sabirin. Diminta menjadi fasilitator untuk satu seminar web oleh BI. Pembicaranya, kepala BI, Kanwil Depag sebagai satgas halal dan Kepala Bank Syariah Indonesia cabang Palu. Acara yang dibuka oleh Gubernur Sulawesi Tengah itu, menyertakan sekitar seratusan peserta. Para Rektor, Kiayi pondok pesantren, akademisi, birokrasi dan praktisi dan masyarakat.

Bacaan Lainnya

Topik-topik yang ditawarkan lebih berkaitan dengan kebijakan, perkembangan dan program terkait transaksi syariah. Ini artinya, hal menyangkut defenisi (ontologi) dan rasioning (epistemologi) dipandang sudah selesai. Pembicaranya lebih fokus kepada implementasi dan problematikanya. BI ternyata, telah melakukan banyak kegiatan pemberdayaan dan pendampingan, baik kepada UMKM maupun kalangan pesantren.


Ketika kita dengar orang bicara syariah berkait Bank. Asumsi kita langsung tertuju pada gerakan non riba atau tanpa bunga. Saya jadi ingat waktu tinggal di kota Lyon Prancis lebih kurang 4 tahunan, sekitar 25 tahun lalu. Saya adalah nasabah bank credits lyonnais. Ini Bank yang relatif tidak ada bunganya. Karena itu, saat narasumber menyebutkan bahwa praktek perbankan syariah ini justru berkembang di luar negeri yang notabene penduduknya mayoritas beragama non muslim. Saya langsung percaya.

Memang fakta menunjukkan bahwa orang non muslim lebih tertarik ikut dalam praktek transaksi syariyah ini. Ironik. Tapi, itu kenyataan. Paling tidak, untuk Indonesia. Sebagai pembanding. Brunei Darussalam sudah pencapai 57 persen partisipasi syariyahnya. Sementara, Indonesia baru sekitar 6 persen. Menyolok sekali. Dengan begitu, usulan mengkampanyekan bahwa Bank syariah itu bukan hanya untuk orang Islam saja, menjadi kurang relevan. Mengapa..? Karena buktinya, justru orang non Islam lah yang lebih tertarik. Begitu, kata para nara sumber. Jadi, masalah adalah di kaum muslimin yang harusnya menjunjung gagasan ini. Lantaran, mengangkut perintah keyakinan.

Ada data, Indonesia memiliki mobilitas sosial yang sangat tinggi. Namun, tidak terorganisir dengan baik. Di beberapa negara tempat saya tinggal beberapa lama. Saya bersaksi tentang tumbuhnya solidaritas sosial yang terorganisir dengan baik. Ini dua contoh saja. Tahun 2004, saya menyaksikannya di Tokyo. Untuk satu program kolaborasi antara JICA dan BAPPENAS, kami mengunjungi markasnya “comunity net”. Penggagasnya sejumlah anak muda. Di Melbourne tahun 2008, saya menyaksikan dunia usaha berskala besar. Namanya, saver. Di dua tempat ini, fokusnya hanyalah sandang layak pakai. Mereka mengumpulkan lalu membagi. Atau mengumpul, lalu menjualnya. Setelah itu, dana diolah dan didonasikan. Sederhana sekali. Intinya, “care and share”.

Pos terkait