Dua bulan lalu, saya dan istri menjadi pasien dan penjaga bergantian di salah satu rumah sakit swasta di Jakarta. Untuk menjadi pasien, harus test Antigen berbayar 300.000 ribu. Sedangkan untuk menjadi penunggu pasien, harus test PCR seharga 1.200.000 untuk hasil yang diperoleh dalam satu hari. Sedangkan untuk hasil dalam satu jam butuh biaya 2.700.000 ribu. Hati kecil ku bertanya, di mana otoritas negara mengontrol hal ini. Bahkan, sambil kecewa, saya bilang pada Istri saya, masih adakah negara ini…?
Kerakusan itu tidak ada batasnya.. Karena itu, negara harus hadir untuk mengatur prilaku transaksi ekonomi. Tidak boleh dibiarkan ke mekanisme pasar (free fight competition) semata. Terutama bersangkut pelayanan dan barang publik. Kita, sebagai contoh di era Orba , pernah punya program bernama “floor and ciling price” untuk komoditi beras. Itu pun, sekarang tidak terdengar. Waktu era Suharto itu, bahkan, Harmoko sebagai menteri penerangan selalu mengumumkan harga bahan pokok. Kapan, terlihat menyolok perbedaannya, pasti mendapat sorotan.
Sekarang, kalau kita pergi ke toko bangunan, harga barang bisa berubah dalam dimensi harian. Tapi, apa dasar kenaikannya, berapa yang wajar ? Tidak tahu siapa dan lembaga apa di negara ini yang punya otoritas legitimate mengontrol nya ? Di pasar publik yang lain, masih ada proses tawar menawar. Tapi kasat logika, harga barang itu telah dinaikkan berkali -lipat. Agar, begitu ada yang menawarkan. Turunnya, tetap dalam batas keuntungan berganda (Ribawi). Ekonomi kita adalah ekonomi ketamakan.
Di Supermarket, semua harga sudah ada labelnya (fixed price). Di sini tidak ada tawar menawar. Konsumen tinggal pilih dan bayar di kasir. Sebenarnya, tidaklah mengapa. Sepanjang harga yang ditetapkan itu wajar dalam batas pengambilan keuntungan. Masalahnya, siapa yang mengontrolnya. Dinas perdagangan dari sisi pemerintah,,? Atau, YLKI dari sisi masyarakat..? Tidak jelas. Padahal, pengambilan keuntungan yang di luar batas kewajaran adalah riba (baca ; tamak). Dan melawan riba itu, merupakan misi paling esensial dari transaksi syariah. Tanpa itu, kita hanya berbasa-basi. Sayang sekali..***