Oleh: Muhd Nur Sangadji
PADA tulisan yang lain, saya pernah mengutip berita heboh dari Bappenas tentang aktor utama di dunia pertanian yaitu, Petani. Pada tahun 2063, menurut Bappenas, Indonesia sudah tidak punya petani lagi.
Lalu saya berpikir, bagaimana bisa kita bicara tentang kemandirian pangan, padahal kita sudah tidak punya petani, satu ketika? Gejalanya mudah terbaca. Di ladang-ladang saat ini, yang tersisa tinggal petani tua (aging farmer). Artinya, regenerasi lambat sekali terjadi. Kabarnya, muncul petani millenial. Namun, banyak yang skeptis.
Bappenas merasionalkan kekhawatiran itu dengan angka-angka sebagai bandingan. Tahun 1976, presentasi petani kita dari total populasi sebesar 65 persen. Tahun 2019, presentasi itu merosot tajam. Tinggal 28 persen. Berbasis pada angka angka ini, maka prediksinya jatuh pada tahun 2063.
Saya mencoba menghitung kembali. Saya menemukan rasio antara waktu (t) dan prestasi (%) ada di angka 0,86. Bila total 28 persen ini kita asumsikan habis dalam demensi waktu. Kita akan temukan angka 28/0,86 = 33 tahun. Sekarang kita berada di tahun 2022, maka pada tahun 2055, kita sudah tidak punya petani lagi. Delapan tahun lebih cepat dari prediksi Bappenas.
***
Tentang aktor ini, kita baru bicara tentang kuantitas. Tapi dia sangat menentukan. Sebab, kalau kuantitasnya saja sudah tidak ada, maka tidak bisa lagi kita bicara lanjut. Bila kuantitas ini sudah aman, baru kita bicara tentang mutu petani. Mutu itu artinya pengetahuan, keterampilan dan sikap.
Satu Waktu di tahun 2004, saya bersama kawan-kawan NGO dan Bappenas berkesempatan bertemu satu petani di sebuah desa pedalaman di Jepang. Nama beliau Oto San. Dengan sejumlah alat berat yang dimilikinya, Oto San menggarap lahan bersama isterinya. Dia bercerita tentang kesuburan tanah. Beliau uraikan mengenai pertukaran kation dan anion dari aspek kimia tanah. Sesuatu yang biasa hanya difahami dosen ilmu tanah.
Tapi, satu hal yang lebih mengagumkan adalah pernyataan penutup dari beliau saat kami akan berpisah. Kata beliau, bila hasil pertanian ini buruk oleh cara dia yang semboro. Dan atau hasil kebunnya yang buruk itu dikirim ke luar negeri. Maka Oto San bilang, “Saya telah ikut merusak nama baik negara saya, Jepang.”
Saya tertunduk merenung. Bagaimana nasionalisme merasuk dalam, hingga ke jiwa seorang petani kecil seperti ini.
***