***
Sekarang ini, masalah aset produksi ini sangat memusingkan pemerintah Morowali. Ada begitu banyak lahan potensial tambang yang sama, punya pemilik izin yang berbeda. Dengan kata lain, ada dua tiga empat orang punya izin usaha di lahan yang sama. Kok bisa..? Sahabat saya menjawab. Ini Indonesia bung. Wooow, sebegitu-itukah ? Atau, masih begitukah wajah bangsa ini?
Saya dengar, tumpang tindih perizinan ini memasuki tahapan perkara hukum yang serius. Semoga martabat hukum (bukan wibawa) bisa meletakkannya di atas sendi kebenaran dan keadilan yang beradab.
Berharap bisnis mafiaso di dunia pertambangan ini terkuak. Diduga, banyak pihak terlibat. Khabarnya, para pemilik SIUP ini bukanlah orang sembarangan. Orang kaya dan atau orang berpangkat. Atau, boleh jadi sekedar menjadi individu “backing”. Semua perilaku begini adalah hal yang kita tolak keras dan laknati bersama di era orde baru. Sejarah penolakan yang melahirkan orde reformasi. Saat ini, terasa seperti hampa. Mental ini tumbuh kian subur.
***
Saya fikir, sejarah itu sedang berulang (le histoire se repeter). Orang bernapsu menjadi pebisnis. Tidak perduli statusnya pejabat publik atau bukan. Semua berlomba-lomba ambil dari nagara, apa yang bisa dikeruk. Etika dan kepatutan sosial kian redup. Padahal, jauh berabad silam, Umar bin Abdul Aziz telah beri contoh. Tetang etika larangan pejabat, petinggi dan atau keluarganya terlibat bisnis. Apalagi dengan cara curang.
Bahkan, ada contoh yang sangat ekstrim. Umar Bin Khattab melarang anaknya berbisnis. Bisnisnya juga, hanya menjual kambing. Alasannya sederhana sekali. Kuatirnya, orang mau membeli kambing tersebut, lantaran mengetahui bahwa, penjualnya adalah anaknya Khalifah. Pikiran yang mungkin tidak laku lagi di zaman ini. Yaitu, zaman dimana pragmatisme keduniaan begitu perkasa. Orang diukur atas dasar materi. Tanda kehancuran peradaban umat manusia. Mari bantu cegah. Dengan moralitas. Karena, hanya dialah yang paling kekal hingga dunia ini bubar. Wallahu a’lam bi syawab ***