Regulasi tertinggi di sebuah universitas adalah Statuta Universitas. Sangat patut diduga, statuta Universitas Tadulako dibuat dengan cara tergesa-gesa dan curang. Gugatan kawan-kawan yang berujung laporan ke Dikti tidak diseriusi dengan baik. Bahkan, Statuta itu pun saat ini telah kadaluarsa sejak tahun 2020. Dan, tidak ada niat dari ketua dan Sekretaris Senat Universitas Tadulako untuk memperbaharui Statuta tersebut. Akibatnya, saat ini Universitas Tadulako memiliki dua visi. Pertama, yang terdapat di Statuta. Kedua, visi yang terdapat di Renstra Universitas Tadulako.
Aneh untuk sebuah perguruan tinggi yang dosen-dosennya bertebaran ke dunia birokrasi untuk ajari mereka tentang tata kelola yang baik (good governance), kampusnya sendiri, Amburadul. Padahal, kampus ini pun diduga telah membangun kerja sama dengan institusi penegak hukum. Terus, apa manfaat kerja sama itu kalau kampus atau oknum jajaran pemimpinnya, terlibat pelanggaran hukum serius..?
Beberapa saat lalu, saya mendapat cerita. Sejumlah dosen akan melakukan gugatan. Saya bertanya,mereka mengugat siapa..? Dirjen Dikti? Rektor? Ketua Senat universitas? Dewan pengawas? SPI? Dewan pertimbangan..? Persoalannya, mereka yang digugat ini pun relatif, diduga termasuk yang dihukum mengembalikan uang ke negara. Kalau begitu, pihak tergugat ini bakal berpotensi menerima dua hukuman (Doble punishment). Kiranya Dikti segera bertindak cepat, kalau perlu, ambil alih untuk selamatkan kampus dari kehancuran moral akademik dan institusi secara keseluruhan. Sangat mendesak. Semoga.
(Penulis, Associate Profesor bid Ekologi Manusia, Pengajar MK Pendidikan Karakter dan Antikorupsi di Faperta Universitas Tadulako).