PALU, PE – Hari Raya Nyepi, tahun baru Saka 1939, yang bertepatan jatuh pada Selasa 28 Maret 2017, merupakan momen bagi umat Hindu, untuk menghilangkan segala sifat-sifat buruk manusia, untuk kembali menjadi pribadi yang suci.
Pada perayaan Nyepi, umat Hindu juga wajib melaksanakan Catur Bratha Penyepian, yakni Amati Geni, atau berpantang menyalakan api, lampu atau alat elektronik, Amati Karya, yaitu menghentikan kerja atau aktivitas fisik, untuk belajar dan refleksi diri, terhadap kehidupan yang dijalani, kemudian Amati Lelanguan, atau berpantang menghibur diri (bersenang-senang), dan Amati Lelungan, yakni dilarang bepergian.
Pembimas Hindu Kantor Wilayah (Kanwil) Kementerian Agama (Kemenag) Sulteng, Anak Agung Ananta Putra, menjelaskan, tujuan ritual Nyepi tersebut, intinya adalah untuk berupaya mengurangi, sifat-sifat negatif atau jahat, yang ada dalam diri manusia.
“Sekarang kita kembali ke jalan yang benar, memasuki hari puncak Nyepi, kita akan melaksanakan catur brata penyepian.
Tujuannya, adalah melalui itu, kita berupaya untuk menjadikan sifat-sifat positif, yang ada dalam diri kita, menjadi lebih dominan, daripada sifat-sifat negatif,” jelas Anak Agung, Senin 27 Maret 2017.
Anak Agung menjelaskan lagi, di dalam diri manusia, terdapat berbagai sifat negatif, di antaranya keserakahan, sombong atau angkuh.
Sifat-sifat jahat tersebut, oleh umat Hindu kemudian digambarkan dalam ogoh-ogoh, yaitu sebuah patung berukuran besar, dan biasanya dibuat dengan kesan menyeramkan.
Ogoh-ogoh tersebut, menggambarkan sifat-sifat jahat yang dimiliki oleh manusia, yang harus segera dihilangkan, jelang perayaan Nyepi, keesokan harinya. Usai diarak, ogoh-ogoh tersebut kemudian dibakar, menandai musnahnya sifat-sifat jahat tersebut.
“Sifat-sifat jahat itu, disimbolkan dalam ogoh-ogoh itu sendiri. Filosofinya adalah, kita sebagai manusia, bisa mengingat bahwa ada sifat-sifat tersebut, dalam diri kita yang perlu dihilangkan,” kata Anak Agung.
Sebagai penggambaran musnahnya sifat jahat manusia tersebut, ogoh-ogoh awalnya diarak berkeliling, kemudian dibakar di kompleks Pura, usai umat Hindu melakukan ritual sembahyang. Di Kota Palu, ribuan umat Hindu, menggelar pawai arak-arakan ogoh-ogoh, berkeliling Kota Palu, dengan titik awal dan akhir di Pura Agung Wana Kerta Jagathnata.