Begini Jadinya, Ketika Hukum Adat Merespons Keriuhan Media Sosial dalam Kasus Ketua PMII

  • Whatsapp

Usai membacakan denda yang harus dibayar,  Ketua Umum PB PMII Aminudin Ma’ruf diberi kesempatan berbicara. Dikelilingi para tokoh adat, vokal pria berkacamata terdengar melemah. Gaya bicaranya tidak seperti yang terlihat saat tampil di hadapan Presiden Jokowi dan para menteri di Masjid Agung Palu, Selasa 16 Mei lalu yang tampil memukau.
Intonasinya datar, artikulasi suaranya agak kurang jelas – bahkan untuk pengunjung yang berjarak 5 meter dari hadapannya. Beruntung, pemandu musyawarah adat, Arifin menjelaskan bahwa tokoh muda PMII itu sudah meminta maaf dengan tulus.

Problem kemudian mengemuka, karena nilai denda yang dibawa tidak sesuai dengan ketentuan adat.   Aminudin Ma’ruf sebagai pihak yang membayar denda hanya membawa kambing tiga ekor dan piring 44 buah.
Masih beberapa item yang kurang, di antaranya sebilah parang dan kain putih 44 meter.
Wali Kota Palu Hidayat yang juga masuk dalam komposisi Dewan Adat Kota Palu, memberi jalan keluar sekaligus memecah kebuntuan. Menurut Hidayat, kedatangan yang bersangkutan di forum ini sebenarnya harus diapresiasi.

Bacaan Lainnya

“Ini menandakan yang bersangkutan, adik kita, saudara kita ini mempunyai itikad mulia untuk menyelesaikan masalah ini melalui forum adat. karena itu, kambing yang tiga ekor dari seharusnya dua ekor kita konversi untuk menggenapkan persyaratan yang kurang,” ucap Wali Kota memberi solusi.

Usulan ini langsung diamini Arifin dan mengatakan bahwa syarat itu sudah sah. Namun pernyataan Arifin itu, disanggah  Lapo Laeli tokoh adat dari Kabonena.
Gaya menyela juga penuh tata krama. Ada ungkapan-ungkapan yang harus dikemukakan sebelum tiba pada argumentasi untuk menyanggah pernyataan Arifin tersebut.

“Saya kira soal sah dan tidaknya syarat ini, tidak bisa kita tentukan secara sepihak. Kita serahkan pada pemimpin rapat ini untuk menentukan apakah sah atau tidak,” sanggah  Lapo Laeli.

Saat menyudahi sanggahannya, Lapo Laeli kembali mengemukakan ungkapan khas yang tidak ditemui dalam obrolan di warkop atau di pasar. Tak menunggu waktu lama, Ramli Betalembah akhirnya mengamini usulan Wali Kota dan menyatakan syarat itu sah. Permusyawaratan akhirnya diakhiri dengan lantunan doa.

Selama permusyawaratan, suasana egaliter  sangat kental. Tidak ada kursi untuk pemuka adat atau tempat khusus untuk Wali Kota. Mereka tanpa terkecuali duduk bersila, duduk sama rata mengemukakan argumentasi dengan pendekatan sosiologis, filosofis lalu kemudian ditanggapi tokoh adat lainnya.

Dalam suasana permusyaratan adat yang berlangsung di bangunan Bantaya Kelurahan Balaroa, Kamis 18 Mei 2017, pengunjung jangan membayangkan seperti peradilan umum. Misalnya, hakim yang harus mengetok meja menenangkan pengunjung yang riuh. Atau ucapan pengacara maupun jaksa yang keberatan dengan keterangan salah satu pihak.

Pos terkait