“Para tokoh adat menjalankan hukum adat, akan menghindari benturan antara hukum positif dan agama. Ini kita hindari dan tidak boleh saling menafikan. harus sejalan simetris,” ungkap Betalembah. Karena itu, sanksi yang diterapkan harus seiring sejalan dengan dua sumber hukum tersebut.
Misalnya, sistem peradilan adat Kamalisi ada sanksi dikucilkan dari masyarakat umum. Jika sanksi itu termasuk tidak mensalati ketika ia wafat, maka hukum adat itu harus diabaikan. Atau misalnya, saat dikucilkan orang tersebut berpeluang hak-haknya tidak bisa dipenuhi oleh negara, misalnya tidak tercatat dalam administrasi kependudukan atau layanan kesehatan tidak dilayani.
Ketika terjadi semacam maka di antara tiga sumber hukum itu tidak boleh saling mengabaikan.
Masih menurut Betalembah, sebenarnya masih ada satu jenis hukuman yang tidak diakomodir dalam perda adat karena selain tidak sejalan dengan hukum positif, untuk menerapkannya terasa mustahil di zaman digital sekarang ini. Yakni, sanksi ditenggelamkan di laut. filosofi dari jenis hukuman ini adalah untuk menghilangkan jejak kejahatan di muka bumi.
Dari prosesi ini, satu hal bisa ditarik adalah soal bagaimana hukum adat yang syarat dengan kearifan budaya mampu menyesuaikan dengan irama peradaban modern.
Para pinisepih tokoh adat Kamalisi setidaknya telah membuktikan, mereka tidak canggung, tidak gagap merespons pergeseran peradaban dengan segala konsekwensi yang ditimbulkannya.
Para tosala (tersalah/terlapor) yang tidak bijak menggunakam media sosial dalam interaksi sosialnya akan dengan sangat mudah diseret ke mahkamah adat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Bagusnya lagi, hasil keputusannya mirip Mahkamah Konstitusi yang bersifat final dan mengikat. Artinya tidak ada lagi upaya hukum berikutnya.
(kia/Palu Ekspres)