Oleh Muhd Nur Sangadji
BERTEPATAN dengan hari ulang tahun kabupaten Buol ke 18 pada 16 Oktober, dilaksanakan Simposium Nasional (Harusnya Internasional). Mengapa, karena melibatkan stakeholder berbagai negara (Belanda dan Inggeris serta Indonesia dari bebagai daerah). Symposium ini mengambil tema mewujudkan kawasan Utara Sulawesi sebagai penghasil Tenak terdepan di Indonesia.
Di sini, berkumpul para Bupati dari kawasan utara-utara, yang terdiri dari Buol, Gorontalo Utara, Bolmong Utara, Bone Bulano serta Rektor Universitas Gorontalo. Para narasumber dari berbagai kalangan juga ikut serta, antara lain ; Prof. Wati dari Univesitas Tadulako, dua lembaga dari Belanda dan Inggeris, dunia Usaha serta pihak perbankan. Bahkan, dua Jenderal berbintang satu dan dua besama rombongan dari Wantanas ikut hadir.
Semua stakeholders wilayah utara ini menaruh spirit yang kuat untuk selamatkan Indonesia dalam hal ketersedian daging. Tahun 2026 yang dijadikan target pencapaian swasembada daging nasional, sepertinya akan bergema dari sini.
Begitu banyak potensi luas lahan yang dimiliki masing-masing kabupaten. Tapi populasi sapi yang masih sedikit, malah memiliki kandang di sepanjang jalan. Artinya, belum terkelola dengan baik dan benar. Karena itu, ketua Tim kerja sama yang adalah Bupati Bone Bolano mengingatkan.
Beliau bilang, tidak cukup hanya semangat, kemauan politik dan anggaran saja. Namun bagaimana melakukannya adalah satu kunci terpenting. Beliau benar, karena kalau kita bandingkan dengan tiga negeri yang mencuat di symposium ini, Australia, Belanda dan Spanyol. Mereka umumnya memiliki keterbatasan terutama dari aspek sumbedaya alam.
Di sana ada temperature ekstrim hingga 51 derajat Celsius dan minus lebih dari 10. Itu berarti, sulit ditemukan rumput hijauan ternak sebagai pakan. Sementara, rumput pakan itu tumbuh sepanjang tahun di tempat kita. Lantas, , mengapa mereka yang mengeksport sapi ke negara kita. Jawabannya, adalah pengelolaan.
Dan, ketika kita bicara pengelolaan, maka paling tidak, harus menguntungkan (povitable), tersedia bahan bakunya (local resources supportable). Juga, dapat diterima secara sosial (social accessible), secara teknik memungkinkan (technologically possible) dan berkelanjutan (ecologically sustainable). Di atas semua ini, kebersamaan (togetherness) menjadi prasyarat mutlaknya. Karena itu, kerja sama utara-utara ini dilakukan