Oleh : Muhd Nur Sangadji (muhdrezas@yahoo.com)
SELAKU Dosen dan Anggota Senat Universitas, saya mendapat dua undangan rapat di awal Desember ini. Karena tidak mungkin bisa hadir bersamaan di dua tempat pada waktu yang sama maka saya optimalkan kontribusi dengan menulis artikel ini. Agenda pertemuannya, membahas visi misi Fakuktas dan Universitas Tadulako. Universitas meletakan periode visi 2020 – 2045. Sangat strategis. Itu berarti, kita bicara mendalam tentang Universitas ini. Tentang tujuan (destination) dan arah (direction) 25 tahun ke depan.
Pilihan durasi (time bound) sebagai batasan waktu perjuangan visi ini sangat menarik. Memang, visi jangka panjang itu berada antara 20 sd 30 tahun. Dan, pilihan pada 25 tahun sudah sangat tepat karena pertama, memilih yang tengah (moderat) antara 20 dan 30.
Kedua, pilihan 25 tahun itu akan berujung pada 2045. Itulah tahun kemerdekaan emas yang ditunggu generasi bangsa ini. Indonesia, kala itu telah berumur 100 tahun.
Visi menurut para ahli yang lansir Goritno, adalah “a set of hope but rotted in reality”. Sejumlah harapan tapi mengakar pada realitas. Goritno, adalah sahabat saya waktu berkerja untuk United Nation (PBB). Beliau menyampaikan ini pada saat kami bersama memulai proses mendorong agenda pembangunan berbasis visi pada tahun 2002. Ketika itu, kami membangun visi berbasis partisipasi publik. Mengapa ? Sebab, visi butuh perwujudan. Dan perwujudan perlu keikutsertaan. Dia membangkitkan rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab (sense of reponsibility).
Ketika itu, kami menolak visi yang hanya dipikirkan oleh satu atau segelintir orang semata. Kemudian menetapkan begitu saja. Ini bertentangan dengan kaidah membuat visi yang benar. Ada dua pendekatan temporer berkait. Satu, konsultasi publik. Dua, uji publik. Namun, yang semestinya, keduanya berproses dalam pendekatan kolaborasi.
Kemarin, saya diminta bicara di forum stakeholder kaum difabel. Saya mendapat pelajaran luar biasa dari mereka di hari ulang tahun internasionalnya. Mereka menyebut di satu slide paparannya : “nothing for us without us”. Saya merenung, kaum difabel saja berfikir demikian kritis. Apalagi kita yang normal.