Warkop Mobile, Kreativitas di Era Disrupsi

  • Whatsapp
IMG_20200105_083350

Si mbak menoleh ke saya dan berkata maaf sekali pak, modal saya hanya motor dan bensin, kemudian saya jajakan racikan kopi yang sudah disiapkan pemiliknya yang tersimpan dalam sebuah termos berinsulasi agar tetap panas.

Dalam seminggu saya menjajakan kopi, Senin sampai Jumat (09.00 – 12.00) rata-rata habis 40 cup per hari. Saya medapat bagian 1.000 rupiah dari harga 10.000 per cup. Saya mengangguk-anggukan kepala. Dan, dalam hati berkata “very good woman” bukan 40 ribu tujuanmu tetapi ada sesuatu yang lebih dahsyat di balik itu.

Bacaan Lainnya

Karena tampilannya menarik ala milenial style, ditambah tutur bahasanya agak intelek sambil mencicipi kopi yang memang enak, membuat saya terpancing bertanya lagi. Mohon maaf mbak pendidikan akhirnya apa ya?. Tanpa malu-malu dia menjawab oh….. saya sarjana bahasa Inggris pak lulusan PT Negeri sini di tahun 2008. Kalau sore saya juga berikan les privat. Tapi sekarang agak sepi, mungkin pengaruh online privat.

Saya agak terkejut dan dalam hati berkata lagi: luar biasa mbak ini, meskipun memegang ijasah sarjana strata satu , tidak ada gengsi dan mau menjajakan kopi. Kemudian saya permisi kepada si mbak. Boleh saya jadikan artikel profesi mbak ini?. Si mbak hanya tersenyum malu-malu dengan raut muka agak merah berarti bisa setuju atau tidak setuju . Setelah sejumlah staf mengatakan mbak! bapak ini selain bos kami, juga suka menulis. Si mbak kemudian menoleh ke saya lagi dan sedikit menunduk, terimakasih dan boleh pak.

Saya mulai mengolah fenomena performance si mbak maupun informasi yang baru saja saya terima. Kemudian muncul kesimpulan sementara di pikiran saya bahwa di era digitalisasi seperti ini ternyata ijazah dengan nilai tinggi sekalipun tidak lagi menjadi faktor yang menentukan. Tetapi lebih kepada kemauan dan tekad, skill dan mental yang kuat membuat orang bisa survive dan berujung kepada terbangunnya kekuatan daerah dan negara untuk bisa maju karena memiliki sejumlah sumberdaya manusia yang kuat. Ini tentunya menjadi keinginan kita.

Kemudian saya kembali teringat bahwa angka pengangguran dan kemiskinan di negeri kita masih tinggi, terutama pemegang ijazah pendidikan menengah dan tinggi. Apakah kondisi ini disebabkan oleh persoalan kemauan dan tekad yang kurang, skill yang terbatas dan mental yang tidak siap serta pilih-pilih pekerjaan. Atau lapangan kerja memang yang terbatas. Ini tentunya perlu dikaji lebih mendalam.

Pos terkait