Negara, dengan begitu harus menginventarisir fakir miskin ini dengan benar. Kemudian, beri BLT secara rutin. Seperti yang terjadi pada ASN. Apakah bisa begitu..? Ada banyak contoh di banyak negara. Waktu kuliah, saya dapat beasiswa 5.250 frank (2 juta rupiah). Dapatnya rutin setiap bulan. Pada saat yang sama, pengangguran di sana, dapatnya 4.000 frank. Karena itu, selama bermukim di Eropa itu, saya dan kawan kawan masuk kategori fakir miskin. Ada banyak fasilitas yg kami dapat karena status ini.
INOVASI KREATIF
Sedikit usulan yang inovatif dan kreatif. Mungkin, negara yang diwakili oleh BUMN atau BUMD bisa mengabil peran. Ada usaha peternakan atau pertanian milik negara atau daerah yang pekerjanya adalah kaum miskin ini dengan sistem bagi hasil. Jadi, mereka bisa dapat dua sumber “revenew generating”nya. Pertama, dari status kefakirannya. Kedua, dari sistem upah bagi hasilnya. Ilmuan boleh atau perlu hadir di agenda ini.
Seperti menghayal yaa ? Jawabannya, mumpung sedang di bulan ramadhan. Coba periksa sistem pertanian di zaman nabi dan para khulafahurashidin. Pada waktu itu, ada lahan subur yang dikuasai negara kemudian dibuka jadi areal pertanian. Pekerjanya adalah petani penggarap dengan imbalan bagi hasil. Semua modal hingga eksekusi pasarnya diurus negara dengan terbuka. Tidak ada a simetri informasi dan ekonomi di sini. Siapa tahu, bisa dicoba sekarang. Pola inti plasma dalam program PIR (perkebunan inti rakyat) yang disinyalir exploitatif, bisa dijinakkan dengan pendekatan syariah ini.
Dan karena di Indonesia, saya bukanlah petani. Serta, bukan pula fakir miskin. Maka, semua usulan dan fikiran tentang mereka, jujur saya katakan, bukanlah “vested interest”. Ilmuan boleh salah, tapi tidak boleh tidak jujur. Sebagai ilmuan berstatus ASN, saya terus belajar menolong mereka kaum miskin ini, dengan apa yang saya bisa. Semoga. ***