New Normal Itu Antisipatif

  • Whatsapp
Muhd Nur sangadji
Dr. Ir. Nur Sangadji DEA. Foto: Dok

Oleh Muhd Nur Sangadji

Setelah tiga tahunan tinggal di Eropa, saya pulang ke tanah air tahun 1997. Saat itu, saya mulai aktif mengajar, meneliti dan mengabdi pada masyarakat.
Lama berlanglang buana hingga hampir delapan tahun di lembaga nasional hingga internasional. Saat sadar untuk sekolah lagi, saya memutuskan lanjut ke IPB tahun 2005. Harusnya, 1997 itu saya berkehendak kembali ke Perancis. Semua persyaratan terpenuhi. Ada rekomendasi, Profesor, KBRI. Bahkan disiapkan dari Dubes RI untuk Unesco. Tapi, datang krisis ekonomi. Ke Eropa terlalu mahal. Kata pemberi beasiswa. Mereka menawarkan ke Philipina. Tapi, saya menolak dengan halus untuk alasan adaptasi (new normal).

Bacaan Lainnya

Datang lagi tawaran, sekitar 2001 atau 2002. Mr Jurgen dalam proyek Storma (Untad, IPB dan Jerman), menawarkan kepada tiga orang. Pak Mahfuz (sekarang Rektor Untad), Pak Hadid dan Saya sendiri. Saya bahkan ditawarkan lanjutnya di Jerman. Tapi, saat itu saya sedang terikat kontrak kerja dengan UNDP. Maka,kesempatan itu pun lewat.

DI BOGOR

Jadilah Bogor, tempat hidup baru (baca : new normal). Banyak hal yang biasa saja, kecuali transportasi. Ini negeri sejuta angkot. New normal di kota ini adalah berhitung tentang waktu berangkat dan tiba yang amat riskan. Kita harus cadangkan waktu sekian lama untuk tiba tepat waktu. Jadi, new normal itu adalah juga, kebiasaan untuk berfikir antisipatif.

Di beberapa pasar yang sangat padat. Ada saja motor lalu lalang. Tapi semua orang memaklumi. Hal begitu telah menjadi biasa, bukan lagi new normal. Saya berfikir, demikianlah kehidupan. Bagai sebuah siklus. Mulanya normal, kemudian new normal, lalu menjadi normal kembali. Tentu saja, dinamis.

DI TINOMBO

Suatu sore di kota Tinombo. Ibu kota kecamatan yang terletak di pantai bahagian timur pada leher Sulawesi Tengah. Kami jumpa satu keluarga yang sedang berjalan berbaris. Ayahnya di depan, menyusul ibu dan anak anaknya. Mereka adalah satu keluarga masyarakat pedalaman (indigenius people) yang mendiami pegunungan sekitar. Sesekali mereka turun ke kota untuk menjual hasil bumi dan atau membeli kebutuhan hidup.

Dosen muda, Asriadi, yang ikut bersama saya, bertanya. Mengapa mereka jalan berbaris,? Saya menjawab, itulah efek deterministik. Di hutan, mereka hanya punya jalan setapak. Perilaku mereka terbentuk secara ekologis. Alam membentuknya. Tapi, bukankah di kota, jalannya sudah lebar ? Kata Asriadi lagi. Saya bilang, tidak mudah berubah kebiasaan (old normal ke new normal). Butuh pembiasaan baru. Dan itu juga, butuh waktu.

Pos terkait