Oleh Hasanuddin Atjo
Dalam penerbangan Palu tujuan Makassar beberapa waktu lalu, saya duduk bersebelahan dengan seorang bapak setengah umur tujuan Jakarta dan transit di Sultan Hasanuddin Makassar. Protokol Covid-19 secara ketat diterapkan antara lain pakai masker dan jaga jarak dengan sengaja seat tengah dikosongkan, tidak ditempati.
Kurang dari 10 menit kemudian, sinyal lampu seat belt dan toilet berubah menjadi hijau, sebagai tanda bahwa ketinggian pesawat berada di titik normal sekitar 28 ribu kaki di atas permukaan laut. Crew maupun penumpang sudah diperkenankan melepas seat belt, menggunakan toilet, bahkan bisa ngobrol, berdialog karena deru mesin pesawat kembali normal.
Sesaat kemudian bapak di sebelah saya menyapa dan mengenalkan dirinya , menanyakan asal usul dan aktifitas keseharian sebagai etika pembicaraan dengan orang yang baru dikenal. Selanjutnya topik diskusi bergeser ke Pilkada tahun 2020. Rupanya yang bersangkutan seorang pelaku usaha di Jakarta yang ada urusan di Palu dan juga pengurus sebuah partai.
Dia bertanya ke saya ada berapa calon yang akan ikut kontestasi pilgub Sulteng 2020 pak?. Secara normatif saya menjawab bahwa syarat minimal untuk mengusung pasangan calon minimal 9 suara di DPRD. Dan, paling tidak pilgub di 2020 bisa mengusung 4 pasangan calon. Namun hingga saat ini baru satu pasang calon yang memenuhi syarat untuk itu.
Si bapak kembali bertanya kenapa begitu sulit menetapkan pasangan calon. Apalagi 3 September, tidak cukup satu bulan KPU membuka pendaftaran. Di daerah lain sejak lama sudah ada penetapan calon sambungnya. Secara diplomatis saya jawab mungkin komunikasi politik kurang terbangun dengan bagus sehingga terlambat tetapkan figur yang akan ikut berkontestasi. Mungkin bapak tersebut paham dengan yang saya maksud karena dia pengurus partai dan kemudian dia alihkan topik pembicaraan.
Kami kemudian ngobrol “ngaro-ngidul” dan tidak terasa pesawat akan landing.
Flashback atau kilas balik Pilgub di Sulawesi Tengah secara langsung, menunjkkan bahwa di tahun 2006 kandidat yang ikut berkontestasi mencapai 4 pasang. Di Pilkada 2011 meningkat menjadi 5 pasang. Ini memberikan indikasi tumbuhnya demokrasi . Selanjutnya di Pilkada 2016 anjlok menjadi 2 pasang. Dan di pilkada di tahun 2020 diprediksi oleh sejumlah kalangan maksimal 2 pasang. Bahkan, bisa jadi akan lawan kotak kosong, karena hingga saat ini baru satu pasang yang memenuhi syarat.